DISTORSI PEMAHAMAN UJIAN SEKOLAH
Oleh : Indra Yusuf *
Setelah selesai melaksanakan UN (Ujian Nasional), siswa kelas XII (SMA) dan Kelas IX (SMP) masih harus menghadapi US (Ujian Sekolah) dan ujian praktek, yang masih merupakan serangkaian paket evaluasi untuk menyelesaikan satuan pendidikan di tingkat menengah. Baik UN maupun ujian praktek sebetulnya dapat memengaruhi penentuan kelulusan, karena memang merupakan persyaratan kelulusan seperti apa yang dimaksudkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No 1 tahun 2007 tentang UN Tahun Pelajaran 2006/2007. Secara lebih rinci dalam POS (Prosedur Operasional Standar) UN tahun pelajaran 2006/2007 disebutkan bahwa seorang siswa dinyatakan lulus dari satuan pendidikan bila telah memenuhi 4 kriteria sebagai berikut ; (1) Menyelesaikan seluruh program pembelajaran (2) Memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran agama dan akhlak, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika dan kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan (3) Lulus ujian sekolah/madrasah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi dan (4) Lulus Ujian Nasional.
Namun apa yang terjadi dilapangan sangatlah nampak jelas pembedaan perlakuan antara UN dan US atau ujian praktek, UN yang penyelenggaraanya berdasar kebijakan ditingkat nasional sementara US hanyalah ditingkat sekolah. Hal ini terlihat juga pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 45 tahun 2006 tentang UN Tahun Pelajaran 2006/2007 pasal 18 menyatakan bahwa UN dinyatakan lulus jika memenuhi standar kelulusan sebagai berikut : (1) memiliki nilai rata-rata mnimal 5,00 untuk seluruh mata pelajaranyang diujikan, dengan tidak ada nilai di bawah 4,25 atau (2) Memiliki nilai minimal 4,00 pada salah satu mata pelajaran dengan nilai dua mata pelajaran yang lainnya minimal 6,00. Dalam Permendiknas No 5 tahun 2007 tentang US Tahun Pelajarn 2006/2007 tidak dijelaskan kriteria sebagaimana dalam UN melainkan riteria kelulusan US diserahkan kepada pihak sekolah masing-masing hanya dengan syarat batas standar tidak boleh dibawah nilai UN.
Tentu sudah dapat dipastikan ada kecenderungan anggapan UN lebih penting ketimbang US apalagi ujian praktek. Dari hal yang menyangkut sistem pelaksanaan, alat evaluasi dan pengawasan pun jauh berbeda. Sehingga Ketika UN belum dilaksanakan, berbagai persiapan jauh-jauh hari dilakukan oleh setiap sekolah, guru, siswa dan orang tua siswa dengan satu tujuan mengantarkan ke gerbang kelulusan. Persiapan yang dilakukan mulai dari memberikan tambahan jam pelajaran baik pada pagi hari (jam ke 0) maupun pada sore hari setelah jam sekolah bahkan ada yang sampai malam hari. Tidak sedikit para orang tua pun yang mempercayakan kepada lembaga bimbingan belajar untuk membekali anaknya agar dapat lulus UN dan harapan mendapatkan nilai yang baik. Pihak sekolah tertentu pun menggandeng lembaga bimbingan belajar untuk mamatangkan persiapan menghadapi UN walaupun hanya sekedar dalam pelaksanaan try out. Di sekolah lain ada yang melakukan sistem karantina kepada anak didiknya beberapa hari menjelang UN dengan maksud menciptakan atmosfer belajar yang kondusif, ditambah dengan kegiatan berdo’a dan dzikir bersama (Istighosah).
Para guru mata pelajaran yang Di UN-kan beberapa minggu menjelang UN sudah tidak terlihat proses belajar yang seperti sebagaimana biasanya dilakukan, semuanya sibuk dengan metode drill dan latihan soal (try out). Siswa tidak lagi diberi materi dan konsep-konsep pemahaman belajar yang rumit dan panjang, meski yang semestinya dilakukan dalam sebuah proses pendidikan, kini yang dikejar hanya pengetahuan kognitifnya (hafalan) saja tanpa memperhatikan aspek afektif dan psikomotor, itu artinya konsep belajar telah mengalami pergeseran atau mungkin juga mengalami degradasi. Lebih ironis lagi mendekati minggu pelaksanaan UN atau sekitar 1-2 minggu sebelum UN ada kebijakan dari sekolah yang “meliburkan” dulu mata pelajaran selain yang di UN- kan. Selama waktu itu siswa hanya mendapatkan pelajaran yang di UN-kan dengan dalih untuk lebih mengefektifkan proses belajar. Ini berati juga telah mengkerdilkan mata pelajaran yang tidak di UN-kan bahkan telah menihilkan proses belajar.
Semua tenaga dan pikiran guru tercurah kepada persiapan pelaksanaan UN karena ini menyangkut secara langsung citra dan nama baik lembaga sekolah bahkan daerahnya. Sehingga terjadi pemaksaan dan ekspektasi (berupa beban target kelulusan yang harus dicapai) dalam pelaksanaan sistem pendidikan dari atas sampai bawah, dari eksekutif kepada kepala dinas, dari kepala dinas kepada kepala sekolah dan dari kepala sekolah kepada guru dan akhirnya dari guru kepada muridnya. Fenomena tersebut telah menimbulkan dampak psikologis pada siswa dan dampak moral bagi lembaga sekolah. Sehingga disamping upaya-upaya yang tidak melanggar aturan dan norma, pelaksanaan UN sarat melahirkan praktik-praktik kecurangan yang dilakukan baik oleh siswa, guru, kepala sekolah bahkan bentuk praktik kecurangan yang sistematis pun mungkin terjadi.
Seperti layaknya Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Pilkadasung), untuk memenangkan calonnya dibentuklah tim sukses oleh masing-masing pihak yang berkepentingan. Demikian juga dalam mempersiapkan UN pembentukan tim sukses menjamur di setiap sekolah. Tidaklah menjadi persoalan apabila tim sukses tersebut dibentuk jauh-jauh hari sebelum pelaksanaan UN sehingga mempunyai jangka waktu yang cukup panjang untuk menentukan bagaimana cara dan strategi menghadapi UN. Tapi bagaimana jadinya kalau tim sukses (tim diluar kepanitiaan pelaksana UN) yang dibentuk ketika beberapa saat menjelang pelaksanaan UN, apa yang mereka dapat lakukan? Tentu ini mengundang kecurigaan.
Namun setelah UN berlalu, nyaris tak ada persiapan apapun untuk menghadapi US ataupun ujian praktek yang diselenggarakan pihak sekolah. Mereka setelah UN seolah-olah telah melalui satu-satunya syarat untuk mencapai sebuah kelulusan. Di beberapa daerah ada sekolah yang setelah melaksanaan UN siswanya langsung meluapkan kegembiraan dengan melakukan aksi corat-coret pada bajunya yang merupakan simbol berakhirnya masa sekolah padahal masih ada US dan ujian praktik. Malah di Jakarta Timur, Cirebon dan Jawa Tengah terjadi tawuran antar pelajar SMK persis setelah UN dilaksanakan, Mereka melakukan itu entah karena ketidaktahuan atau bagi mereka hanya UN yang menjadi faktor penetu kelulusannya.
Walaupun seringkali pemerintah melakukan sosialisasi tentang kriteria kelulusan bahwa UN bukan sebagai faktor tunggal dalam menetukan kelulusan seorang siswa tetapi hanya salah satu komponen yang menentukan kelulusan dan keputusan kelulusan tetap ada pada pihak sekolah masing-masing. Komponen lain yang dimaksud adalah US dan ujian praktek yang diselenggarakan berdasarkan kebijakan sekolah dan disamping tentu faktor sikap dan perilaku siswa selama 3 tahun. Artinya siswa dapat saja dinyatakan tidak lulus walaupun nilai UN yang diperoleh di atas batas standar kelulusan. Tapi pemerintah juga tidak memahami kenyataan dilapangan, mereka yang telah terlanjur menganggap UN sebagai satu-satunya syarat kelulusan sulit untuk diubah pemahamannya dan hal ini dirasakan cukup beralasan. Karena ketika siswa yang nilai UN-nya memenuhi standar kelulusan sudah hampir dapat dipastikan akan lulus walaupun nilai harian dan US sebetulnya rendah, tapi tidak begitu sebaliknya jika seorang siswa yang dari kelas satu sampai kelas tiga selalu mendapatkan peringkat pertama tapi mendapatkan nilai UN dibawah standar maka dapat dipastikan dinyatakatan tidak lulus dan pihak sekolah tidak dapat berbuat banyak, yang katanya sebagi penentu kebijakan lulus tidaknya seorang siswa. Ini terbukti dari beberapa kasus yang terjadi tahun kemarin seperti seorang siswa yang bintang kelas bahkan ada juga yang pernah menjuarai olinpiade tingkat nasional dinyatakan tidak lulus dan sekarang masing berlangsung sidang gugatannya.
Dari beberapa kasus yang terjadi menunjukan bahwa hakekatnya UN memang sebagai satu-satunya jaminan (bukan syarat) untuk sebuah kelulusan. Keputusan UN sebagai single score dalam menentukan kelulusan telah menafikan proses belajar siswa salam 3 tahun dan prinsip evaluasi dalam dunia pendidikan. UN hanya menjadikan US sebagai ujian nomor dua dan dikhawatirkan dibarengi dengan anggapan bahwa pelajaran yang tidak di UN-kan juga menjadi pelajaran no dua. Bukankah makna pendidikan adalah sebagai pembentuk watak dan pribadi manusia yang tentu keberhasilanya tidak dapat diukur oleh salah satu factor saja. Sehingga para ahli pendidikan pun telah megusulkan hendaknya pelaksanaan UN bukan sebagai penentu kelulusan tapi hanya sekedar salah satu alat untuk mengetahui persebaran dan pemetaan tingkat kualitas pendidikan nasional saja. Tapi Pemerintah tetap bersikeras pada pendiriannya bahkan berencana untuk menyelenggarakan UN ditingkat Sekolah Dasar (SD) pada tahun ajaran mendatang 2007/2008.
Penulis : Guru SMA Negeri 7 Cirebon dan Pengajar Bimbel Ganesha Operation.
Baik UN maupun ujian praktek sebetulnya dapat memengaruhi penentuan kelulusan, karena memang merupakan persyaratan kelulusan seperti apa yang dimaksudkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No 1 tahun 2007 tentang UN Tahun Pelajaran 2006/2007. Secara lebih rinci dalam POS (Prosedur Operasional Standar) UN tahun pelajaran 2006/2007 disebutkan bahwa seorang siswa dinyatakan lulus dari satuan pendidikan bila telah memenuhi 4 kriteria sebagai berikut ; (1) Menyelesaikan seluruh program pembelajaran (2) Memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran agama dan akhlak, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika dan kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan (3) Lulus ujian sekolah/madrasah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi dan (4) Lulus Ujian Nasional.
Namun apa yang terjadi dilapangan sangatlah nampak jelas pembedaan perlakuan antara UN dan US atau ujian praktek, UN yang penyelenggaraanya berdasar kebijakan ditingkat nasional sementara US hanyalah ditingkat sekolah. Hal ini terlihat juga pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 45 tahun 2006 tentang UN Tahun Pelajaran 2006/2007 pasal 18 menyatakan bahwa UN dinyatakan lulus jika memenuhi standar kelulusan sebagai berikut : (1) memiliki nilai rata-rata mnimal 5,00 untuk seluruh mata pelajaranyang diujikan, dengan tidak ada nilai di bawah 4,25 atau (2) Memiliki nilai minimal 4,00 pada salah satu mata pelajaran dengan nilai dua mata pelajaran yang lainnya minimal 6,00. Dalam Permendiknas No 5 tahun 2007 tentang US Tahun Pelajarn 2006/2007 tidak dijelaskan kriteria sebagaimana dalam UN melainkan riteria kelulusan US diserahkan kepada pihak sekolah masing-masing hanya dengan syarat batas standar tidak boleh dibawah nilai UN.
Tentu sudah dapat dipastikan ada kecenderungan anggapan UN lebih penting ketimbang US apalagi ujian praktek. Dari hal yang menyangkut sistem pelaksanaan, alat evaluasi dan pengawasan pun jauh berbeda. Sehingga Ketika UN belum dilaksanakan, berbagai persiapan jauh-jauh hari dilakukan oleh setiap sekolah, guru, siswa dan orang tua siswa dengan satu tujuan mengantarkan ke gerbang kelulusan. Persiapan yang dilakukan mulai dari memberikan tambahan jam pelajaran baik pada pagi hari (jam ke 0) maupun pada sore hari setelah jam sekolah bahkan ada yang sampai malam hari. Tidak sedikit para orang tua pun yang mempercayakan kepada lembaga bimbingan belajar untuk membekali anaknya agar dapat lulus UN dan harapan mendapatkan nilai yang baik. Pihak sekolah tertentu pun menggandeng lembaga bimbingan belajar untuk mamatangkan persiapan menghadapi UN walaupun hanya sekedar dalam pelaksanaan try out. Di sekolah lain ada yang melakukan sistem karantina kepada anak didiknya beberapa hari menjelang UN dengan maksud menciptakan atmosfer belajar yang kondusif, ditambah dengan kegiatan berdo’a dan dzikir bersama (Istighosah).
Para guru mata pelajaran yang Di UN-kan beberapa minggu menjelang UN sudah tidak terlihat proses belajar yang seperti sebagaimana biasanya dilakukan, semuanya sibuk dengan metode drill dan latihan soal (try out). Siswa tidak lagi diberi materi dan konsep-konsep pemahaman belajar yang rumit dan panjang, meski yang semestinya dilakukan dalam sebuah proses pendidikan, kini yang dikejar hanya pengetahuan kognitifnya (hafalan) saja tanpa memperhatikan aspek afektif dan psikomotor, itu artinya konsep belajar telah mengalami pergeseran atau mungkin juga mengalami degradasi. Lebih ironis lagi mendekati minggu pelaksanaan UN atau sekitar 1-2 minggu sebelum UN ada kebijakan dari sekolah yang “meliburkan” dulu mata pelajaran selain yang di UN- kan. Selama waktu itu siswa hanya mendapatkan pelajaran yang di UN-kan dengan dalih untuk lebih mengefektifkan proses belajar. Ini berati juga telah mengkerdilkan mata pelajaran yang tidak di UN-kan bahkan telah menihilkan proses belajar.
Semua tenaga dan pikiran guru tercurah kepada persiapan pelaksanaan UN karena ini menyangkut secara langsung citra dan nama baik lembaga sekolah bahkan daerahnya. Sehingga terjadi pemaksaan dan ekspektasi (berupa beban target kelulusan yang harus dicapai) dalam pelaksanaan sistem pendidikan dari atas sampai bawah, dari eksekutif kepada kepala dinas, dari kepala dinas kepada kepala sekolah dan dari kepala sekolah kepada guru dan akhirnya dari guru kepada muridnya. Fenomena tersebut telah menimbulkan dampak psikologis pada siswa dan dampak moral bagi lembaga sekolah. Sehingga disamping upaya-upaya yang tidak melanggar aturan dan norma, pelaksanaan UN sarat melahirkan praktik-praktik kecurangan yang dilakukan baik oleh siswa, guru, kepala sekolah bahkan bentuk praktik kecurangan yang sistematis pun mungkin terjadi.
Seperti layaknya Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Pilkadasung), untuk memenangkan calonnya dibentuklah tim sukses oleh masing-masing pihak yang berkepentingan. Demikian juga dalam mempersiapkan UN pembentukan tim sukses menjamur di setiap sekolah. Tidaklah menjadi persoalan apabila tim sukses tersebut dibentuk jauh-jauh hari sebelum pelaksanaan UN sehingga mempunyai jangka waktu yang cukup panjang untuk menentukan bagaimana cara dan strategi menghadapi UN. Tapi bagaimana jadinya kalau tim sukses (tim diluar kepanitiaan pelaksana UN) yang dibentuk ketika beberapa saat menjelang pelaksanaan UN, apa yang mereka dapat lakukan? Tentu ini mengundang kecurigaan.
Namun setelah UN berlalu, nyaris tak ada persiapan apapun untuk menghadapi US ataupun ujian praktek yang diselenggarakan pihak sekolah. Mereka setelah UN seolah-olah telah melalui satu-satunya syarat untuk mencapai sebuah kelulusan. Di beberapa daerah ada sekolah yang setelah melaksanaan UN siswanya langsung meluapkan kegembiraan dengan melakukan aksi corat-coret pada bajunya yang merupakan simbol berakhirnya masa sekolah padahal masih ada US dan ujian praktik. Malah di Jakarta Timur, Cirebon dan Jawa Tengah terjadi tawuran antar pelajar SMK persis setelah UN dilaksanakan, Mereka melakukan itu entah karena ketidaktahuan atau bagi mereka hanya UN yang menjadi faktor penetu kelulusannya.
Walaupun seringkali pemerintah melakukan sosialisasi tentang kriteria kelulusan bahwa UN bukan sebagai faktor tunggal dalam menetukan kelulusan seorang siswa tetapi hanya salah satu komponen yang menentukan kelulusan dan keputusan kelulusan tetap ada pada pihak sekolah masing-masing. Komponen lain yang dimaksud adalah US dan ujian praktek yang diselenggarakan berdasarkan kebijakan sekolah dan disamping tentu faktor sikap dan perilaku siswa selama 3 tahun. Artinya siswa dapat saja dinyatakan tidak lulus walaupun nilai UN yang diperoleh di atas batas standar kelulusan. Tapi pemerintah juga tidak memahami kenyataan dilapangan, mereka yang telah terlanjur menganggap UN sebagai satu-satunya syarat kelulusan sulit untuk diubah pemahamannya dan hal ini dirasakan cukup beralasan. Karena ketika siswa yang nilai UN-nya memenuhi standar kelulusan sudah hampir dapat dipastikan akan lulus walaupun nilai harian dan US sebetulnya rendah, tapi tidak begitu sebaliknya jika seorang siswa yang dari kelas satu sampai kelas tiga selalu mendapatkan peringkat pertama tapi mendapatkan nilai UN dibawah standar maka dapat dipastikan dinyatakatan tidak lulus dan pihak sekolah tidak dapat berbuat banyak, yang katanya sebagi penentu kebijakan lulus tidaknya seorang siswa. Ini terbukti dari beberapa kasus yang terjadi tahun kemarin seperti seorang siswa yang bintang kelas bahkan ada juga yang pernah menjuarai olinpiade tingkat nasional dinyatakan tidak lulus dan sekarang masing berlangsung sidang gugatannya.
Dari beberapa kasus yang terjadi menunjukan bahwa hakekatnya UN memang sebagai satu-satunya jaminan (bukan syarat) untuk sebuah kelulusan. Keputusan UN sebagai single score dalam menentukan kelulusan telah menafikan proses belajar siswa salam 3 tahun dan prinsip evaluasi dalam dunia pendidikan. UN hanya menjadikan US sebagai ujian nomor dua dan dikhawatirkan dibarengi dengan anggapan bahwa pelajaran yang tidak di UN-kan juga menjadi pelajaran no dua. Bukankah makna pendidikan adalah sebagai pembentuk watak dan pribadi manusia yang tentu keberhasilanya tidak dapat diukur oleh salah satu factor saja. Sehingga para ahli pendidikan pun telah megusulkan hendaknya pelaksanaan UN bukan sebagai penentu kelulusan tapi hanya sekedar salah satu alat untuk mengetahui persebaran dan pemetaan tingkat kualitas pendidikan nasional saja. Tapi Pemerintah tetap bersikeras pada pendiriannya bahkan berencana untuk menyelenggarakan UN ditingkat Sekolah Dasar (SD) pada tahun ajaran mendatang 2007/2008.
Penulis : Guru SMA Negeri 7 Cirebon dan Pengajar Bimbel Ganesha Operation.
(artikel pernah di muat pada harian Mitra Dialog)
.