Kamis, 31 Juli 2008

Memahami Global Warming Secara Komprehensif



Oleh : Indra Yusuf
Data Buku
Judul : Akankah Indonesia Tenggelam Akibat Pemanasan Global ?
Penulis : Gatut Susanta dan Hari Sutjahjo
Penerbit : Penebar Plus
Cetakan : I Tahun 2008 Tebal : 89 halaman
Pemahaman masyarakat luas terhadap fenomena global warming (pemanasan global) masih jauh dari apa yang diharapkan. Ini dibuktikan oleh masih rendahnya kepedulian masyarakat terhadap upaya- upaya yang sekiranya dapat mencegah terjadinya global warming. Masyarakat masih menganggap global warming sebagai fenomena global yang hanya dapat diatasi dengan tindakan-tindakan yang berskala besar dan global saja. Sedangkan apa yang kita lakukan baik yang bersifat pencegahan ataupun justru yang turut menimbulkan gejala global warming tidak akan berpengaruh apa-apa. Mereka pun belum sepenuhnya menyadari bahwa penyebab timbulnya global warming adalah kita semua dengan pola konsumsi dan gaya hidup yang tidak ramah terhadap lingkungan. Dalam awal bab-nya penulis menguraikan seputar pemahaman tentang global warming. Dijelaskannya bahwa global warming merupakan peristiwa meningkatnya suhu rata-rata atmosfer, laut dan daratan dibumi akibat peningkatan jumlah GRK (Gas Rumah Kaca) diatmosfer. GRK sendiri merupakan gas hasil dari proses pembakaran fosil, seperti batu bara, minyak bumi (yang diolah menjadi bensin, minyak tanah, avtur dan pelumas atau oli) dan gas alam dalam rangka menunjang aktivitas manusia. Ada enam senyawa GRK yang disepakati dalam Protokol Kyoto yakni, karbon dioksida, metana, nitrooksida, chloro-fluoro-carbon, hidro-fluoro-carbon dan sulfir heksafluorida. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup sebagian besar pencemaran udara di kota-kota besar di Indonesia berasal dari asap kendaraan bermotor.
Bagian tengah buku ini memaparkan beberapa dampak yang ditimbulkan akibat terjadinya global warming dan pengaruh langsungnya di Indoensia. Beberapa dampak yang uraian adalah mulai dari pengaruh terhadap pertanian, peternakan hingga pada masalah kesehatan manusia. Di Indonesia sendiri gejala-gejala yang membuktikan bahwa telah terjadi global warming adalah : pergantian musim yang tidak bisa diprediksi, sering terjadi angin puting beliung, hujan badai sering terjadi dimana-mana, banjir dan kekeringan yang terjadi pada waktu bersamaan.
Buku ini sangat penting untuk di jadikan bahan bacaan pagi para pemula yang ingin memahami konsep dasar pemanasan global. Karena buku ini memberikan pemahaman global warming dengan gaya penuturan yang sederhana dan praktis. Pesan yang terkandung didalamnya dapat ditangkap oleh semua lapisan pembaca baik yang awam maupun yang memahami keilmuannya. Selain itu pada akhir buku ini juga disertakan penjelasan tentang istilah-istilah lingkungan hidup. Sehingga buku ini dapat menjadi penggugah bagi kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap kebiasaan menjaga lingkungan dalam aktivitas sehari-harinya. Menyikapi fenomena global warming setidaknya kita harus berpegang pada prinsip 3 R, yakni Reduce, Reuse dan Recycle ( kurangi, gunakan kembali dan daur ulang).
Dalam bagian akhir buku ini dijelaskan beberapa studi kasus kota-kota di Indonesia dalam melakukan upaya pencegahan terjadinya global warming. Upaya-upaya yang dilakukannya tentu dengan mengurangi emisi gas rumah kaca. Beberapa kota yang telah memiliki komitemen dalam pencegahan global warming diantaranya adalah Bogor, Balikpapan, Surabaya dan Yogyakarta.
Kota Cirebon sebagai kota yang mengalami perkembangan pesat menuju kota metropolis, sudah sepatutnya pemerintah daerah dapat mencontoh kota-kota lain yang telah berkomitmen untuk ikut aktif mencegah timbulnya dampak global warming. Demikian juga dengan masyarakatnya, yang diharapkan mampu berprilaku dan bergaya hidup yang ramah lingkungan. Karena sesungguhnya peran sekecil apapun dalam menanggulangi global warming akan bermanfaat bagi generasi mendatang, yakni bagi anak cucu kita. ***

Spirit Pluralisme dan Perdamaian Jerusalem


Oleh : Indra Yusuf
DATA BUKU
Judul : Jerusalem, Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Terakhir
Penulis : Trias Kuncahyono
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Cetakan ke – 4, Juli 2008
Tebal Halaman : xxxix + 316
Beberapa waktu lalu, Penulis berkesempatan menghadiri acara diskusi buku yang diselenggarakan oleh Redaksi Kompas Jabar di Bandung. Buku yang didiskusikan berjudul “Jerusalem, Kesucian, Konflik dan Pengadilan Terakhir. Buku tersebut ditulis oleh seorang wartawan Kompas, yang kini menjadi Wakil Pemimpin Redaksi Kompas, yakni Mas Trias Kuncahyono. Hadir sebagai pembicara diskusi buku tersebut antara lain Prof. Dr. A. Agung Banyu Perwita, PhD. Guru Besar UNPAR Bandung, Prof. Dr. H. Nanat Fatah Natsir, Msi. Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan Zuhairi Misrawi, Intelektual Muda NU yang juga sebagai Executive DirectorModerate Moslem Society serta Penulis buku itu sendiri Trias Kuncahyono. Buku ini berisi pemaparan tentang Jerusalem sebagai kota suci tiga agama samawi : Yudaisme, Kristen dan Islam. Karena disana terdapat beberapa tempat suci yang biasa dijadikan tempat berziarah bagi ketiga umat tersebut, diantaranya seperti Tembok Ratapan (Wailing Wall), Gereja Makam Kristus, Masjid Al-Aqsha dan Dome of The Rock. Disamping itu juga buku ini menyajikan informasi secara mendalam dan menyeluruh tentang Jerusalem. Selain kaya muatan sejarah juga menyiratkan pesan akan arti pentingnya perdamaian dan melihat Jerusalem secara lebih mendalam. Jerusalem memiliki sejarah penting tidak saja bagi pengikut tiga agama samawi tersebut, melainkan bagi seluruh umat manusia di muka bumi. Kota Jerusalem juga memiliki sejarah yang panjang. Temuan sejarah membuktikan bahwa pada tahun 3000 SM, tempat itu sudah ditinggali dan diyakini pertama kali dibangun oleh orang Kanaan. Dan sejak itu hingga kini, Jerusalem terus diperebutkan, menjadi sumber konflik, sumber permusuhan umat manusia dari generasi ke generasi, dari masa ke masa, dari zaman ke zaman. Kota ini telah ditaklukan dan dihancurkan serta dibangun kembali selama berkali-kali. Selama 30 abad terakhir, sudah lebih dari 20 kali kota ini ditaklukan dan dihancurkan untuk kemudian dibangun lagi. Sepanjang masa itu pula sejarah Jerusalem menyisakan banyak hal tentang :kasih, kebencian dan kegairahan. Sementara menurut Zuhairi Misrawi, baru ada tiga buku dari lebih kurang 1703 buku tentang Jerusalem yang dalam pemaparannya menggunakan hati nurani (‘ayn al-ridha), bukan menggunakan mata kebencian (ayn al sukhth). Salah satunya buku yang ditulis Mas Trias Kuncahyono yang bejudul : “Jerusalem, Kesucian, Konflik dan Pengadilan Akhir”, sehingga dari buku tersebut kita dapat melihat Jerusalem dari tiga kacamata sekaligus yaitu, Islam, Kristen dan Yahudi. Dua buku lain yang tentang Jerusalem yang ditulis secara objektif dan simpatik yaitu Jerusalem: One City, Three Faiths karya Karens Amstrong dan The Crusade: Islamic Perspective yang ditulis oleh Carole Hillenbrand. Kelebihan buku ini selain isi tema yang sangat menarik, juga dalam hal gaya penulisannya. Karena Buku ini merupakan hasil karya dari seorang jurnalis, sehingga cara pemaparannya kaya warna, dan memiliki gaya jurnalistik yang dialogis. Sehingga pembaca dapat menikmatinya dengan dari beberapa sudut pandang : sejarah, politik internasional, atau gaya jurnalistiknya sendiri. Lebih lanjut dalam bukunya, Penulis ingin menyampaikan bahwa untuk mencapai pluralisme dan perdamaian diperlukannya membangun dua pondasi. Pertama, adalah perlunya pengakuan terhadap perbedaan itu sendiri. Kedua, adanya kehendak untuk hidup berdampingan secara damai. Sepanjang sejarah bahkan sampai dengan sekarang Jerusalem selalu berada di pusat pusaran konflik geopolitik, yang dimanifestasikan oleh Yahudi dan Palestina atas dominasi kota tersebut. Baik Orang Yahudi, Kristen maupun Islam sama-sama mengkalim yang berhak atas Jerusalem. Orang-orang Yahudi mendasarkan klaimnya kembali pada peristiwa yang terjadi pada abad 11 SM tatkala Raja Daud mengalahkan dan merebut kota itu. Orang-orang kristiani mensucikan kota Jerusalem karena merupakan tempat penyaliban, serta kebangkitannya. Umat Muslim sendiri menjadikan Jerusalem sebagai salah satu dari 3 kota suci karena di kota itu Nabi Muhammad SAW melakukan Isra-Mi’raj, yakni perjalanan spritual dari Mekkah (Masjidil Haram) ke Masjidil Aqsha dan kemudian Mi’raj ke Sidrat Al-Muntaha. Dalam bab terakhir diuraikan tentang upaya-upaya penyelesaian masalah Jerusalem di panggung internasional. Berbagai perundingan damai telah dilakukan Antara keduanya, dan memutuskan siapa pemilik Jerusalem. Tetapi, semua perundingan, sejumlah resolusi yang diterbitkan oleh Majelis Umum PBB dan Dewan Keamanan PBB tidak juga mampu mengakhiri konflik yang ada antara kedua bangsa itu. Sampai kapan konflik itu akan terus bergelora ? Tidak ada yang dapat menjawab secara pasti. Sejaralah yang akan menjadi saksi tentang apa yang terjadi di masa depan. Namun yang menjadi pertanyaan, yang tidak dijelaskan dalam buku ini adalah mengapa dalam tataran mikro Kota Jerusalem merupakan sebuah inspirasi bagi pluralisme dan perdamaian. Sedangkan dalam tataran makro Kota Jerusalem justru tetap menjadi sumber pertentangan dan konflik. ***

(Resensi ini telah dimuat di Harian Mitra Dialog tanggal 2 Agustus 2008)

Senin, 28 Juli 2008

Museum Sebagai Sumber Pembelajaran

Museum sebagai Sumber Pembelajaran
Oleh Indra Yusuf
Beberapa waktu lalu di Kota Cirebon diselenggarakan roadshow museum, yaitu Pameran Keliling Bersama Museum Sri Baduga Bandung. Bagi masyarakat Cirebon khususnya dunia pendidikan Kota Cirebon dan wilayah sekitarnya, hal itu memiliki arti tersendiri. Acara tersebut dapat dijadikan momentum untuk memperkenalkan kekayaan budaya daerah sekaligus menunjukkan eksistensi budaya masyarakat Jabar kepada para siswa sebagai generasi muda.

Pameran yang diselenggarakan di Aula Pusdiklatpri itu diikuti beberapa museum dan instansi di Jabar dan Jakarta, seperti Museum Sri Baduga, Museum Geologi, Museum Basoeki Abdullah, Museum Kasepuhan, Museum Kanoman, Balai Arkeologi, serta Balai Pengelolaan Kepurbakalaan Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung.

Penyelenggaraan acara ini didorong oleh beberapa hal yang sangat memprihatinkan terkait dengan rendahnya minat masyarakat mengunjungi museum. Di samping faktor masih rendahnya partisipasi guru dalam memanfaatkan museum sebagai sumber pembelajaran. Padahal, pihak museum telah mencoba dengan membuka diri dan melakukan berbagai promosi, termasuk melakukan roadshow seperti yang sekarang dilakukan Museum Sri Baduga.

Kurang atraktif

Dari segi besarnya biaya yang dikeluarkan, berkunjung ke museum merupakan wisata yang relatif murah karena harga tiket tergolong rendah. Namun, kenapa jika kita diminta mengurutkan prioritas tujuan wisata, berkunjung ke museum merupakan pilihan terakhir?

Beragam alasan muncul terkait dengan rendahnya minat masyarakat, di antaranya adalah kurang atraktifnya museum dalam menampilkan koleksinya; banyak koleksi yang tidak terawat; museum tidak dikelola sebagaimana tempat wisata sehingga para pengunjung cepat mengalami kejenuhan. Semestinya museum dikelola sebagaimana layaknya obyek wisata yang harus menyediakan berbagai kebutuhan pengunjung (baca: wisatawan).

Hal-hal yang harus dipenuhi adalah terkait dengan what to see, what to do, what to buy, dan how to be there. Berbeda dengan masyarakat di negara lain. Sebagai contoh dan bahan perbandingan, selama tahun 2006 Museum Nasional Jakarta dikunjungi sekitar 127.875 pengunjung, sedangkan Museum Nasional Louvre Paris, Perancis, dikunjungi 8,3 juta pengunjung (Kompas, 10/5/07).

Sementara itu, proses pembelajaran di museum dapat dijadikan sumber belajar yang tepat dan sangat menarik, terutama bagi guru yang mengajar bidang ilmu sosial. Sebab, museum adalah lembaga, tempat penyimpanan, perawatan, pengamanan, dan pemanfaatan benda-benda bukti materiil hasil budaya manusia, serta alam dan lingkungannya guna menunjang upaya perlindungan dan pelestarian kekayaan budaya bangsa (Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1995 tentang Pemeliharaan dan Pemanfaatan Benda Cagar Budaya di Museum).

Sebagaimana kita ketahui, dalam proses pembelajaran di kelas, guru sering kali menghadapi hambatan-hambatan yang berkaitan dengan media pembelajaran dan sumber belajar, khususnya ketika guru menjelaskan materi yang tidak bisa disampaikan melalui ceramah (verbalisme) saja sehingga materi akan terkesan abstrak. Mungkin untuk mata pelajaran sains, seperti Fisika, Kimia, dan Biologi, akan sedikit teratasi karena memang di sekolah-sekolah pada umumnya telah memiliki laboratorium khusus untuk mata pelajaran tersebut.

Akan tetapi, bagaimana dengan mata pelajaran sosial, seperti Sejarah, Geografi, Sosiologi, Antropologi, ataupun Ekonomi, yang pada umumnya tidak memiliki laboratorium. Tidak sedikit guru ilmu sosial berperan sebagai satu-satunya sumber untuk memperoleh pelajaran, yang kemudian cara belajar dengan mendengarkan ceramah merupakan wujud interaksi yang dominan.

Efektivitas belajar hanya dengan mendengarkan patut diragukan. Bahkan, ada ungkapan yang mengatakan, "Saya mendengar saya lupa; saya melihat saya ingat; saya berbuat saya bisa". Hal tersebut didukung hasil penelitian pakar pendidikan Edgar Dale yang membuat klasifikasi tingkatan pengalaman dari yang paling konkret sampai yang paling abstrak. Klasifikasi itu dikenal dengan nama kerucut pengalaman (cone of experience).

Menurut dia, verbalisme merupakan tingkatan yang paling rendah dalam membentuk pemahaman ilmu pengetahuan, sedangkan observasi atau pengamatan langsung merupakan tingkatan paling tinggi. Dengan demikian, proses pembelajaran di dalam kelas tidak selamanya efektif tanpa adanya pengalaman langsung yang dapat memperkuat pemahaman siswa terhadap materi yang diberikan.

Pengalaman langsung

Studi di luar kelas atau observasi merupakan upaya memberikan pengalaman langsung kepada siswa yang dapat dilakukan dengan mengunjungi museum atau instansi-instansi tertentu yang terkait dengan materi pelajaran.

Kegiatan observasi atau pengamatan yang dilakukan siswa di museum merupakan bentuk studi di luar kelas yang sangat bermanfaat dan dapat melahirkan suatu gagasan dan ide baru. Sebab, dalam kegiatan ini siswa dirangsang menggunakan kemampuannya dalam berpikir kritis secara optimal.

Kemampuan berpikir siswa tersebut, menurut Takai dan Connor (1998), meliputi pertama, kemampuan mengenal persamaan dan perbedaan pada obyek yang diamati (comparing and contrasting). Kedua, kemampuan mengidentifikasi dan mengelompokkan obyek yang diamati pada kelompok seharusnya (identifying and classifying).

Ketiga, kemampuan menyampaikan deskripsi secara lisan dan tulisan berkenaan dengan obyek yang diamati (describing). Keempat, kemampuan memprakirakan apa yang terjadi berkenaan dengan obyek yang diamati (predicting). Kelima, kemampuan membuat kesimpulan dari informasi yang diperoleh di museum dalam sebuah laporan secara singkat dan padat (summarizing).

Studi di luar kelas tidak selamanya berupa karyawisata atau darmawisata yang memakan waktu lama dan biaya yang tidak sedikit. Studi di luar kelas yang dapat dilakukan dengan waktu sempit dan berbiaya relatif murah adalah berkunjung ke museum.

Studi di luar kelas dapat juga dilakukan di sekitar lingkungan sekolah ataupun wilayah lain sesuai dengan kebutuhan. Dengan demikian, guru dituntut dapat mengusahakan agar setiap siswa dapat berinteraksi secara aktif dan langsung dengan berbagai sumber belajar. Sumber belajar itu dapat berupa sumber belajar yang dirancang (learning resources by design) atau sumber belajar yang tersedia dan tinggal dimanfaatkan (learning resources by utilization) seperti museum.

INDRA YUSUF Pengasuh Redaksi Majalah Optimis SMA Negeri 7 Cirebon; Anggota AGP-PGRI Jawa Barat (Tulisan ini telah dimuat pada harian Kompas tanggal 27 September 2007)

.

Rabu, 23 Juli 2008

Agar Guru Menjadi Penulis

Oleh : Indra Yusuf*
“Tulisan memberi sumbangan berarti dalam membangun peradaban. Melalui tulisan, seseorang bukan saja dapat memberi perubahan bagi dirinya, namun juga bagi orang lain dan masyarakat luas sehingga mereka dapat lebih arif dalam menyikapi berbagai persoalan yang dihadapinya “. Demikian diungkapkan H. Syafik Umar Direktur Utama PT. Pikiran Rakyat Bandung pada acara pembentukan Asosiasi Guru Penulis Jawa Barat di gedung PGRI Jawa Barat Bandung, (Pikiran Rakyat, 23/04/07). “Dengan menulis seorang guru berarti telah meningkatkan kompetensinya, kreatifitasnya sekaligus menunjukan inovasinya disamping meningkatkan wawasannya dalam pendidikan” demikian diungkapkan Ketua PGRI Jawa Barat dalam pelantikan Pengurus AGP di Bandung tanggal 12 Mei 2007, (Pikiran Rakya, 14/05/07)
Pembentukan Asosiasi Guru Penulis Jawa Barat (AGP Jabar) merupakan langkah maju bagi pembangunan masa depan profesi guru dan pengembangan pendidikan di Jawa Barat khususnya. Untuk itu sudah sepatutnya kita dukung dengan ikut terjun aktif dalam dunia tulis menulis atau dengan menjadi guru penulis. Karena bagi guru, menulis memiliki manfaat yang sangat besar. Diantaranya untuk mengembangkan kompetensi guru, yang meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan kompetensi profesional (Pasal 10 ayat 1 UU No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen). Dalam pelaksanaan sertifikasi pun, nanti selain kualifikasi pendidikan pasca sarjana (magister), karya tulis dan aktivitas ilmiah lainnya juga akan dibutuhkan. Sama seperti ketika seorang guru akan mengajukan kenaikan pangkat, karya tulis menjadi salah satu syarat untuk memenuhi angka kredit.
Disamping itu kegiatan menulis merupakan suatu kegiatan yang mengandung aspek inovatif, edukatif dan produktif. Inovatif, dengan menulis kita dapat menyalurkan ide-ide baru dan kreatif kepada orang lain sehingga memberikan pemahaman dan pencerahan bagi penulis maupun pembaca. Edukatif, dengan menulis berarti kita telah melakukan proses pendidikan secara tidak langsung kepada masyarakat luas melalui tulisan-tulisan yang dimuat media. Produktif, dari menulis kita juga mendapatkan sedikit-banyaknya penghasilan tambahan, yang besarnya tergantung pada ketekunan, frekuensi dan lingkup media yang kita pilih untuk memuat tulisan kita. Sehingga otomatis tingkat kesejahteraan sedikit mengalami peningkatan tanpa harus menunggu janji pemerintah yang ingin memperbaiki tingkat kesejahteraan guru tapi dengan melalui sertifikasi yang sampai saat ini masih belum jelas. Walaupun honor yang kita dapat dari menulis kadang bukan menjadi tujuan utama kita melainkan menulis hanya salah satu bentuk aktualisasi diri kita.
Kesempatan menulis bagi guru begitu luas, sehingga sangat sayang bila dilewatkan begitu saja. Guru lebih memiliki waktu luang dibandingkan dengan profesi lainnya, sehari-harinya pun sebenarnya sudah terbiasa dengan dunia tulis menulis seperti saat membuat soal atau melakuan penelitian tindakan kelas (PTK). Guru memiliki potensi yang besar untuk menulis, karena guru merupakan sosok yang dikenal memiliki wawasan luas, bahkan dulu di desa guru dianggap sebagai orang yang serba bisa. Dalam setiap kegiatan masyarakat guru selalu diikutsertakan dan seringkali ditokohkan oleh masyarakat. Masyarakat memposisikan guru pada tempat yang lebih terhormat karena ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Dari segi pendidikan pun cukup menunjang karena pada umumnnya guru adalah sarjana yang tentunya pernah menyusun skripsi. Masa menyusun skripsi yang begitu tebal mampu tapi menulis yang hanya sekedar lebih kurang empat lembar tak mampu. Jangan biarkan skripsi menjadi karya tulis kita yang pertama dan terakhir seperti pohon pisang yang hanya sekali berbuah setelah itu mati.
Apalagi kini banyak sekali bermunculan media massa cetak baik lokal, regional maupun nasional yang semuanya dapat kita jadikan saluran untuk mengasah ketrampilan menulis kita. Seiring dengan berkembangnya dunia pers tentu akan memicu budaya literasi atau minat baca dikalangan masyarakat. Terlebih lagi pada surat kabar Pikiran Rakyat yang menyediakan rubrik khusus bagi guru-guru yang diberinama “Forum Guru”. Di dalam rubrik tersebut guru-guru dapat menuangkan ide-ide inovatif, yang menyangkut profesionalisme guru dan permasalahan dunia pendidikan. Sehingga dengan kehadiran guru sebagai penulis diharapkan karut marut dunia pendidikan nasional yang bagai benang kusut dapat sedikit terurai, mengingat guru sebagai akar rumput dari dunia pendidikan yang mengalaminya secara langsung dapat menyampaikan gagasan-gagasannya.
Bila kita melihat tugas dan peranan guru ternyata tidak hanya sebatas di kelas atau lingkungan sekolah saja. Melainkan mencakup lingkungan diluar sekolah yang juga mengemban tugas kemanusiaan dan kemasyarakatan. Dalam tugas kemanusiaan guru memiliki peran strategis dalam menentukan kemajuan suatu bangsa. Keberadaan guru merupakan faktor Condisio Sine Quanon yang tidak dapat digantikan oleh apapun sampai kapanpun meski teknologi informasi kian modern. Sementara tugas kemasyarakatan yang dipikul guru adalah mencerdaskan masyarakat bangsa Indonesia melalui pendidikan. Pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan secara luas seperti yang tertulis dalam Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003 yaitu : “Usaha-usaha dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendaliaan diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.
Kegiatan menulis merupakan kegiatan yang sarat dengan nilai pendidikan. Seorang penulis tentu setidaknya memiliki wawasan yang luas, karena modal utama menulis adalah membaca. Dengan menulis berarti seorang guru juga telah mampu membangun profesionalitasnya. Kebiasaan menulis guru membawa pengaruh terhadap budaya literasi informasi dalam pembelajaran di kelas, karena setidaknya siswa-siswa di sekolah akan terpacu untuk mengikutinya kebiasaan gurunya. Dengan sendirinya minat baca siswa akan terdongkrak dan selanjutnya untuk memenuhi kebutuhannya diperlukan media yakni minimalnya perpustakaan sekolah sebagai sumber informasi pertama.
Ketika kita selesai membuat tulisan kadang kala kita seringkali putus asa manakala beberapa tulisan yang kita buat tak kunjung dimuat oleh media. Hal itu sangatlah wajar karena memang ketersediaan ruang media yang ada atau memang karena redaksional tulisan kita yang masih kasar atau ide tulisan yang kurang menarik . Kalau memang tulisan kita dirasa masih kurang baik teruslah dilatih, semakin sering kita menulis akan semakin baik tulisan kita dengan sendirinya. Untuk membantu agar kita dapat menulis dengan baik ada beberapa tips sederhana agar tulisan yang kita buat dapat diterima redaksi, namun tentu sebelumnya kita harus memahami dulu isi materi yang akan kita tuliskan dan menguasai teknik penulisan. Pertama, kita harus mengetahui dulu jenis media dan segmen pembaca dari media tersebut, baru setelah itu lebih spesifik lagi yakni menyangkut karakter bagian ruang media (rubrik) yang akan kita tuju. Misal ketika yang akan kita isi adalah rubrik Forum Guru tentu isi tulisan kita mesti menyangkut dunia guru atau pendidikan. Kedua, Tulisan yang kita buat harus sesuai dengan gaya penulisan yang diinginkan redaksi dan topik yang diangkat harus selalu aktual, relevan dan dirasakan menjadi persoalan dalam masyarakat. Sehingga untuk menghindarkan out date nya topik yang kita tulis kita harus memperhatikan tenggat waktu pengirimamnya ( untuk itu perlunya penggunaan e-mail). Ketiga, tulisan yang disajikan tidak berkepanjangan dan menggunakan bahasa yang dipahami oleh seluruh lapisan pembaca atau bersifat populer/luwes. Keempat, lebih baik lagi isi tulisan dapat mengandung hal yang memberikan pencerahan inspirasi, informasi maupun solusi.
Prof H. Mohamad Surya pernah mengatakan kebiasaan buruk yang sering terjadi adalah menunda-nunda hasrat untuk menulis. Maka mulailah dari sekarang mencari bahan tulisan, lakukan penulisan, perbaiki tulisan dan segera kirim tulisan. Selamat berkarya.***

Menanamkan Kesadaran Lingkungan

Menanamkan Kesadaran Llngkungan
Oleh : Indra Yusuf
Hari Lingkungan hidup Sedunia yang jatuh pada tanggal 5 Juni, tidak lain adalah untuk memperingati Konferensi Lingkungan Hidup pertama di dunia yang diselenggarakan di Stokholm pada tahun1972. Tentu bukan untuk memperingati konferensinya melainkan merupakan salah satu bentuk upaya untuk mengingatkan kembali masyarakat dunia akan pentingnya perilaku menjaga lingkungan. Mengingat lingkungan (baca : bumi) yang kita tinggali semakin hari dirasakan makin menurun kualitasnya di samping makin bertambah kompleksitas permasalahanya. Bagaimana tidak setiap saat eksploitasi sumberdaya alam dari perut bumi dikuras secara besar-besaran untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Menurunnya kualitas lingkungan hidup tentunya menyebabkan semakin rendahnya daya dukung lingkungan secara umum. Pengertian daya dukung lingkungan sendiri adalah ukuran kemampuan suatu lingkungan dalam mendukung sejumlah populasi manusia untuk dapat hidup secara wajar dalam lingkungan tersebut (Nursid Sumaatmadja : 1989). Penurunan daya dukung lingkungan harus dikekang dengan meningkatkan kepedulian terhadap lingkungan atau setidaknya harus dapat diimbangi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi agar tidak terjadi benturan-benturan antara daya dukung lingkungan yang ada dengan populasi manusia kian pesat
Banyaknya bencana alam yang terjadi karena kerusakan lingkungan, menunjukan rendahnya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan. Rendahnya kesadaran lingkungan masyarakat dipicu oleh ketidaktahuan tentang pentingnya menjaga lingkungan. Tapi bukan itu persoalannya ! Degradasi lingkungan yang kini terjadi, bukan karena ketidaktahuan atau ketidakmengertian akan pentingnya menjaga lingkungan. Hal ini terjadi karena faktor lain, yakni faktor desakan pembangunan atau tekanan ekonomi yang lebih kuat dibanding kepekaan terhadap lingkungan ditambah lagi dengan pesatnya pertumbuhan penduduk. Lebih tegas lagi kerusakan lingkungan yang terjadi terjadi disebabkan oleh adanya keserakahan manusia atau ketidakberdayaan manusia dalam menghadapi tuntutan kebutuhan sosial dan ekonomi.
Siapapun dapat menjadi pelaku kerusakan lingkungan baik secara individu maupun kolektif mulai dari para pejabat, anggota dewan, pengusaha ataupun masayarakat kecil. Sebagai contoh kerusakan lingkungan hutan hujan tropis di Kalimantan dan Sumatera adalah sebagian ulah dari oknum pejabat baik di pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Pembangunan vila-vila di kawasan perbukitan sehingga merusak fungsinya sebagai daerah resapan air adalah ulah para pengembang dan pejabat. Sedangkan Penambangan bahan galian yang menyebabkan kerusakan lingkungan adalah ulah para pengusaha tambang dan rakyat sebagai penambang kecil. Demikian pula dengan pendangkalan sungai oleh tumpukan sampah, rusaknya mangrove di pantai dan pembangunan pemukiman di ruang terbuka hijau adalah ulah masyarakat kecil karena keterbatasnnya. Dan banyak lagi contoh lain yang menunjukan kerusakan lingkungan baik diakibatkan oleh individu ataupun kelompok masyarakat. Jadi kita semua mempunyai potensi untuk menjadi perusak lingkungan bila kita tidak mempunyai kesadaran dan komitmen yang tinggi terhadap lingkungan.
Berbagai upaya dilakukan untuk menahan laju cepatnya kerusakan lingkungan. Baik melalui regulasi maupun kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Tapi Undang-undang atau peraturan yang ada seolah tidak berdaya menunjukan taringnya. Salah satu contohnya adalah Keberadaan UU No 23/1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, terbentuknya Kementerian lingkungan hidup (awalnya bernama Kantor Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup), dan disusul berdirinya badan/ dinas lingkungan hidup disetiap provinsi dan kabupaten/kota belum mampu menghentikan kerusakan lingkungan yang terus terjadi (Kompas, Sobirin :05/05/07).
Sehingga langkah strategis yang perlu di optimalkan adalah melalui penyelenggaran pendidikan lingkungan hidup di sekolah-sekolah. Semestinya bencana yang terjadi dapat menjadi proses pendidikan lingkungan secara langsung. Namun bencana lingkungan (ecological disaster) yang terjadi hanya dijadikan pelajaran sesaat bagi pemerintah maupun masyarakat, efek yang ditimbulkan dari bencana tersebut hanya sebatas shock therapy, yang setelah sekian lama bencana berlalu semuanya kembali seperti biasa saat bencana belum melanda hingga bencana berikutnya datang.
Pendidikan lingkungan sebagai salah satu cara untuk menekan laju kerusakan lingkungan dapat dilakukan mulai dari lembaga pendidikan formal tingkat dasar sampai tingkat menengah minimalnya, sebagaimana upaya yang telah dilakukan Gubernur Jawa Barat yang mulai tahun ajaran mendatang diwajibkan untuk menyelenggarakan mulok pendidikan lingkungan hidup di sekolah-sekolah. Walaupun belum jelas kurikulum dan isi materi bahan ajarnya. Pendidikan lingkungan hidup yang di maksud adalah suatu program kependidikan untuk membina anak didik memiliki pengertian, kesadaran, sikap dan perilaku anak didik yang rasional serta bertanggung jawab tentang pengaruh timbal balik antara penduduk dan lingkungan hidup dalam berbagai aspek kehidupan manusia.
Sementara pendidikan kependudukan lingkungan hidup menurut Depdiknas memiliki beberapa tujuan yaitu ; (1) mengembangkan pengetahuan tentang konsep dasar kependudukan dan lingkungan hidup, (2) mengembangkan kesadaran terhadap adanya masalah kependudukan dan lingkungan hidup pada masa kini dan prospekya pada masa yang akan datang, (3) membina kesadaran akan perlunya mengatasi masalah persebaran dan pertumbuhan penduduk serta kemerosotan kualitas lingkungan hidup, (4) mengembangkan pengetahuan dan pengertian tentang hubungan saling mempengaruhi antara dinamika kependudukan dengan sosial budaya, ekonomi dan teknologi, serta kualitas lingkungan hidup, (5) mengembangkan nilai dan sikap positif yang mengarah kepada pembentukan keluarga yang bertanggung jawab dalam lingkungan hidup yang serasi dan menjamin kehidupan keluarga dan masyarakat yang semakin sejahtera dan berkeseimbangan, (6) mengembangkan penguasaan keterampilan yang diperlukan untuk membina keluarga yang bertanggung jawab, memafaatkan sumberdaya secara rasional, memelihara dan melestarikan lingkungan hidup yang lebih baik, (7) mengembangkan partisipasi aktif secara individual atau kelompok dalam kegiatan yang menyangkut usaha peningkatan kualitas hidup melalui usaha penyebaran penduduk secara rasional, pengendalian fertilitas dan keserasian, keseimbangan lingkungan hidup.
Kita masih ingat bencana lingkungan yang terjadi beberapa waktu lalu merupakan bencana yang selalu berulang dan bahkan di sebutnya sebagai bencana musiman (siklus bencana) tanpa ada upaya yang sungguh-sungguh untuk memperbaikinya. Kebakaran hutan tropis, longsoran sampah leuwigajah, banjir dikawasan Bandung Selatan - Jakarta, pencemaran tanah-air udara, kerusakan kawasan Pantai Utara Jawa akibat rusaknya ekosistem mangrove adalah bencana yang selalu berulang dan frekuensi kian cepat. Disamping itu masih ada bencana global yang siap mengancam yaitu gejala pemanasan global yang mempunyai efek luas bagi kehidupan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung diberbagai belahan bumi termasuk di Indenesia. Sebagaimana tema Hari Lingkungan Hidup Sedunia tahun ini yakni “Iklim Berubah, Waspadalah terhadap Bencana Lingkungan”.
Walaupun berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap lingkungan tapi kenyataanya belum menunjukan hasil yang signifikan, kerusakan lingkungan dari tahun ke tahun kian bertambah luas dan kompleks. Pendidikan yang dirasakan sebagai upaya strategis untuk membentuk masyarakat yang peka terhadap lingkungannya pun belum dilakukan pemerintah secara serius, sehingga hasilnya pun kurang memuaskan. Lantas bagaimana upaya untuk menciptakan masayarakat yang peduli terhadap lingkungan?
Sebenarnya pendidikan lingkungan dapat mulai dilakukan dari lingkungan keluarga dengan menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang erat kaitannya dengan pendidikan lingkungan. Banyak hal yang dapat kita tanamkan pada lingkungan keluraga ataupun sekolah berkaitan dengan upaya menggugah kesadaran lingkungan proses internalisasinya (pendarahdagingan). Misalnya : Reduce, mengurangi pemakaian secara berlebihan pada penggunaan air bersih ataupun bahan bakar. Reuse, menggunakan suatu barang secara berulang tanpa harus membuang sekali pakai. Recycle, mendaur ulang barang barang yang telah kita pakai. Respect , dapat menghargai barang sesuai dengan fungsinya. Replant, menanam kemabali pohon-pohonan di pekarangan rumah kita. Composting, sekali-kali melakukan pengolahan sampah untuk menjadi pupuk atau kompos yang bermanfaat bagi tanaman-tanaman di pekarangan rumah kita. Dengan membiasakan perilaku-perilaku ramah lingkungan disertai dengan teladan dari orang tua, guru, pemerintah atau pejabat, diharapkan kepedulian lingkungan akan menjadi budaya yang mendarah daging sehingga membantu keberhasilan tujuan pendidikan lingkungan hidup.

Membenahi Seleksi Calon Kepala Sekolah

MEMBENAHI SELEKSI CALON KEPALA SEKOLAH
Oleh : Indra Yusuf*
Kepala satuan pendidikan atau lebih dikenal kepala sekolah memiliki peranan yang strategis bagi perkembangan suatu satuan pendidikan atau sekolah baik pada tingkat SD, SMP maupun SMA. Gaya kepemimpinan kepala sekolah akan berpengaruh pada prestasi dalam rangkaian proses pembelajaran di suatu sekolah. Disamping tentunya peranan dari tenaga kependidikan lannya seperti pengawas, guru, teknisi sumber belajar, laboran, tata usaha dan pustakawan.
Terlebih lagi jika dikaitkan dengan penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) peran kepala sekolah makin dominan. Untuk mendukung keberhasilan peranan MBS pemerintah menggulirkan beberapa bantuan dana yakni block grant, BOMM (Bantuan Operasional Manajemen Mutu), SSN (Sekolah Standar Nasional) dan program lainnya. Dalam hal ini kepala sekolah dituntut menjadi seorang perencana sekaligus manajer untuk dapat mengelola setiap program bagi peningkatan mutu sekolah.
Sedangkan kepala satuan pendidikan sebagai administrator memiliki tugas mengerahkan, mengkoordinasikan, mendorong kearah keberhasilan pekerjaan bagi semua staf. Yaitu dengan cara mendefinisikan tujuan, mengevaluasi kinerja, mengelola sumber organisasi dan lain-lain. Disamping itu kepala sekolah dituntut untuk dapat mewujudkan iklim kerja yang kondusif di lingkungan sekolah, menjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat, menyusun perencanaan, mengatur jadwal, menyelesaikan konflik yang muncul antar sesama guru atau bahkan guru dengan kepala sekolahnya sendiri. Singkatnya peranan kepala sekolah sangat penting dan strategis bagi kemajuan pendidikan suatu daerah, karena semuanya ditentukan dan berawal dari sekolah.
Berkaitan dengan itu Dinas Pendidikan Kota Cirebon telah memulai pelaksanaan seleksi calon kepala sekolah dengan salah satu tujuannya adalah mengisi kekosongan formasi jabatan kepala sekolah ditingkat SMP dan SMA karena kepala seklah terdahulu memasuki masa pensiun (bukan habis masa jabatanya). Sejak akhir April ini seleksi tahap I calon kepala satuan pendidikan SMP dan SMA telah dimulai. Seleksi tahap I ini dilaksanakan oleh panitia tingkat sekolah yang dibentuk oleh kepala sekolah dan pengawas pembina. Pelaksaanan seleksi tahap I yang dilakukan oleh sekolah masing-masing yang meliputi kelengkapan administrasi, dalam bentuk fortofolio dan wawancara oleh pengawas pembina. Sedangkan seleksi tahap II dan III berdasarkan schedule kegiatan seleksi akan diselenggarakan tanggal 10 dan 15 Mei 2007 serta pengumuman hasil tahap III akan dilakukan pada tanggal 19 Mei 2007.
Seleksi pada tahap II dilakukan oleh panitia seleksi tingkat kota dengan bentuk kegiatan berupa tes tertulis. Materi tes tulis antara lain meliputi : kemampuan dasar, kemampuan nalar secara akademis (logical thinking), kematangan mengendalikan emosi-kepribadian, wawasan kependidikan, kemampuan manajerial, kemampuan berbahasa Inggris serta sistematika berpikir sesuai dengan kaidah-kaidah penalaran pengemabngan ilmu pengetahuan (Juknis Sicakep, Disdik Kota Cirebon 2007).
Hasil dari seleksi tahap dua ditentukan oleh rapat pleno berdasarkan ranking nilai tertinggi yang diperoleh peserta seleksi calon kepala sekolah. Peringkat teratas sampai dengan urutan sesuai kebutuhan berhak mengikuti tahap selanjutnya yakni seleksi tahap III. Seleksi tahap III pun dilakukan oleh panitia seleksi tingkat kota dengan rangkaian kegiatan meliputi : (a) Pembuatan kertas kerja, presentasi kertas kerja dan dialog. (b) Wawancara/ interview. Kemudian panitia menyelenggarakan rapat pleno untuk membuat peringkat hasil seleksi dan menyerahkan kepada Kepala Dinas Pendidikan. Selanjutnya Kepala Dinas Pendidikan mengusulkan pengakatan definitif sebagai kepala satuan pendidikan kepada walikota.
Menyikapi mekanisme seleksi calon kepala satuan pendidikan di lingkungan Dinas Pendidikan Kota Cirebon ada beberapa hal yang perlu disempurnakan kembali. Pertama, tim yang dibentuk belum melibatkan seluruh unsur stakeholder pendidikan, idealnya tim yang dibentuk meliputi dari berbagai kalangan selain dinas pendidikan sebagai penyelenggara atau Badan Kepegawaian Daerah (BKD) seperti perlunya mengikutsertakan peranan LSM yang konsen dan peduli terhadap pendidikan untuk pengontrol dari masyarakat. Kedua, dalam mekanisme ini sama sekali tidak melibatkan peran guru, padahal guru yang nantinya akan dihadapi dan dipimpin oleh kepala sekolah. Seringkali kita mendengar berita dimedia massa yang mengungkapkan perilaku negatif kepala sekolah dan ketidakpuasan akan kinerjanya sehingga sampai didemo oleh guru maupun siswanya. Tidak sedikit para kepala sekolah yang bersifat otoriter, paternalistik dan selalu menekan guru sehingga membuat sekolah tidak lagi nyaman bagi guru-gurunya. Kepala sekolah yang mestinya dapat menciptakan suasana demokratis di sekolah ternyata telah berubah menjadi beku, kaku dan mematikan kretifitas guru-gurunya. Ketiga, Mekanisme seleksi kepala sekolah terkesan masih kental dengan “jual-beli” jabatan, nuansa loyalitas dan kedekatan dengan pihak-pihak tertentu masih menonjol dibanding dengan sisi profesionalnya. Seleksi calon kepala sekolah masih belum dianggap memenuhi mekanisme yang objektif, transparan, konsisten dan akuntabel oleh para guru sendiri. Ini terbukti kurangnya minat para guru untuk mengikuti seleksi tersebut, padahal banyak sekali guru yang memenuhi persyaratan untuk mengikuti seleksi tersebut. Meski tiap sekolah diberi jatah 2 orang guru untuk ikut dalam seleksi namun ada beberapa sekolah yang sama sekali tidak mengikutkan gurunya, alasanya tentu bukan karena tidak ada yang memenuhi syarat. Melainkan para guru segan dan ragu terhadap proses penjaringan kepala sekolah tersebut akan berjalan sesuai mekaniusme dan dilakukan dengan objektif. Mereka yang berani mengikuti seleksi pada umumnya mereka yang benar-benar telah mempersiapkan segala faktor, tidak saja hanya faktor profesionalisme dan PDLT (prestasi, dedikasi, loyalitas dan tidak tercela) melainkan juga faktor lain atau yang disebut “3 D”. Keempat, Pemerintah kota melalui Dinas pendidikan dan Badan Kepegawaian Daerah perlu menata kembali periode jabatan kepala sekolah sesuai dengan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 162 tahun 2003. Karena hal itu akan berpengaruh terhadap pengembangan karier dan motivasi kerja guru yang telah memenuhi syarat untuk menjadi kepala sekolah tapi sulit untuk mendapatkan kesempatan. Sampai dengan saat ini jabatan kepala sekolah masih belum diatur dengan jelas mengenai periodisasinya.
Keempat hal tersebut apabila tidak segera dibenahi akan sulit menghasilkan mekanisme penjaringan kepala sekolah yang menjujung tinggi “fairness”, transparan dan akuntabel. Tentu kita semua berharap dalam seleksi kepala sekolah tahun ini dapat berjalan dengan baik. sehingga mampu menjaring kepala sekolah yang profesional sebagaimana dalam PP No 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan Bab VI pasal 38 ayat (3). Dengan mekanisme penjaringan seperti itu diharapkan mendapatkan figur kepala sekolah yang memiliki kemampuan profesional, akademik, sosial, kepribadian dan bermartabat seperti apa yang menjadi tujuan seleksi di Dinas Pendidikan Kota Cirebon. Sehingga dapat membawa kemajuan bidang pendidikan Kota Cirebon khususnya dan meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) masyarakat Kota Cirebon pada umumnya.

Mereka Pahlawan Pendidikan

MEREKA “PAHLAWAN PENDIDIKAN”
Oleh : Indra yusuf*
Belum lama ini dunia pendidikan Indonesia mendapat sorotan tajam dari masyarakat melalui media. Menyusul dua peristiwa yang terjadi secara berturut-turut telah mencoreng wajah pendidikan nasional. Pertama adalah peristiwa terungkapnya kasus tindak kekerasan yang dilakukan praja senior terhadap yunior di lembaga pendidikan IPDN dan itu ironisnya kerapkali terulang. Kedua, adalah maraknya kecurangan dalam penyelenggaraan Ujian Nasional (UN) baik dalam bentuk pencurian soal, pembocoran soal maupun dengan menyebarkan kunci jawaban. Ini pun membuat kita semua prihatin karena yang melakukanya adalah mereka yang notabene sebagai pendidik Sebenarnya kedua peristiwa tersebut hanyalah merupakan fenomena puncak gunung es yang menambah karut marutnya persoalan pendidikan di negeri ini.
Untuk budaya kekerasan yang terjadi dilembaga pendidikan saja selama tahun 2006 telah terjadi tak kurang dari 1000 kasus, (Kompas 14/04/07). Hal ini telah menunjukan lunturnya humanisme dan demokratisasi lembaga pendidikan dalam menjalankan misinya. Pendidikan kini lebih mementingkan hasil daripada proses pendidikan itu sendiri, seperti yang terlihat dalam penyelenggaraan Ujian Nasional (UN). Pendidikan pun telah mengenyampingkan hak asasi manusia (HAM) dalam pembelajaran, peserta didik dijadikan objek pendidikan bukan sebagai pelaku dalam pembelajaran. Menyikapii budaya kekerasan yang kental di IPDN, Mochtar Buchori menyatakan “ Bagi saya IPDN adalah contoh sistem pendidikan yang gagal total karena sama sekali tidak memahami esensi pendidikan itu sendiri”. Sehingga beliau beranggapan perlunya kembali dilakukannya reformasi birokrasi dalam pendidikan dengan mengembalikannya kepada Departemen Pendidikan Nasional.
Sementara indikasi terjadinya kecurangan dalam pelaksanaan UN baik SMP maupun SMA menunjukan buruknya kinerja dan manajemen sistem pendidikan kita. Terlepas dari pro dan kontra tentang pelaksanaan UN, ternyata Pemerintah telah gagal dalam mencapai hakikat dan tujuan penyelengraraan UN itu sendiri. UN yang diharapkan pemerintah agar dapat meningkatkan kualitas pendidikan dan memacu motivasi belajar siswa ternyata kontarproduktif, kenyataan dilapangan telah terjadi berbagai bentuk pelanggaran yang bertujuan mencapai hasil bukan proses sehingga upaya meningkatkan hasil UN dengan cara-cara yang salah. Hal ini justru menimbulkan permasalahan baru yang lebih serius yakni rusaknya moralitas belajar siswa dan rusaknya citra guru sebagai pendidik karena telah ikut melakukan pelanggaran-pelanggaran. Pelanggaran yang terjadipun sudah tersistematis dan merupakan konspirasi, karena melibatkan banyak pihak termasuk para birokrat yang memang mempunyai kepentingan demi menjaga citra dan nama baik daerahnya.
Konspirasi kecurangan dalam UN berpotensi terhadap penanaman nilai-nilai buruk kepada siswa. Padahal sebagai insan pendidikan tentu tidak sekedar berfungsi sebagai pentransfer ilmu tapi yang lebih penting adalah mentransfer nilai, dan membangun karakter siswa. Pendidikan yang semestinya diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran telah terpinggiran oleh ulah oknum yang melakukan kecurangan dalam pelaksanaan UN. Ini terbukti dengan terjadinya berbagai kasus ditanah air.
Kasus paling menyedihkan bagi dunia pendidikan adalah pengakuan sejumlah guru di Medan yang tergabung dalam komunitas Airmata Guru yang telah berhasil membongkar upaya sistematis para kepala sekolah di rayon setempat untuk membantu siswanya supaya lulus UN dengan cara melanggar hukum (Kompas 30/4.07). Komunitas airmata guru di medan yang terdiri dari 18 pengawas, seorang Kepsek, dan 17 guru yang bertugas mengawasi jalanya UN di rayon medan, benar-benar menangisi dan memrotes semua kebohongan dan dan kecurangan pelaksanaan UN SMA yang justru dilakukan oleh pendidik sendiri. Kecurangan yang justru dilakukan oleh para guru dan pengawas ini bukan hanya keliru mendidik siswa tapi telah menanamkan budaya tidak jujur dan tampak seperti bentuk pendidikan korupsi. Dengan demikian tidak ada artinya sama sekali pendidikan yang selama ini dibangun dengan susah payah.
Sementara itu di Jawa Barat pun beberapa aktivis Pendidikan dari FAGI, Segi dan AGMI yang berani mengungkapkan adanya indikasi kecurangan UN di Bandung diperiksa oleh itjen Depdiknas. Salah seorangnya mengatakan kekecewaannya berkaitan dengan materi pemeriksaan yang tidak bertujuan untuk mengungkap kasus kecurangan atau bocornya kunci jawaban UN, justru mereka seakan-akan dipojokan dan bukan tidak mungkin nantinya akan dijadikan kambing hitam dalam persoalan ini. Jelas kenyaatan ini membuat kita semua prihatin atas kebijakan pemerintah. Semestinya mereka dijadikan sumber informasi untuk mengungkap apa yang terjadi sebenarnya atau menemukan aktor intelektual dalam dugaan kecurangan UN yang terjadi selama ini.
Sulit rasanya untuk memberangus keduanya mengingat keduanya telah mengakar dan berubah menjadi sebuah budaya. Tapi bukan berati tidak mungkin untuk diberantasnya, tentu hanya dengan komitmen yang tinggi dari pemerintah persoalan tersebut dapat kita atasi. Dua peristiwa tersebut membuat kelam peringatan Hari Pendidikan Nasional (hardiknas) tahun ini, tapi dibalik itu ada hikmah dan pelajaran yang dapat kita ambil dan ada juga setitik harapan dari apa yang telah mereka perjuangkan untuk perbaikan pendidikan bangsa ini dimasa depan. Terungkapnya kekerasan dalam pendidikan yang terjadi di kampus IPDN adalah tidak terlepas dari keberanian seorang “guru” Inu Kencana Syafe’I yang telah mengikuti kata nuraninya. Sudah sejak lama Inu menyaksikan budaya kekerasan dan bullying (perilaku agresif dan menekan dari seseorang yang lebih dominan terhadap orang yang lebih lemah) dan sudah sejak itu pula nurani Inu mengalami penindasan.
Demikian juga dengan komunitas Airmata Guru, FAGI, AGMI, Segi yang juga telah berani mengungkapkan kebenaran dengan membongkar kecurangan yang tejadi selama pelaksanaaan UN di daerahnya masing-masing. Baik Inu maupun komunitas Airmata Guru dan aktivis pendidikan lainnya merupakan cermin dari orang-orang yang peduli dengan pendidikan dan berani menghadapi segala macam kemungkinan buruk yang akan menimpa dirinya maupun keluarganya demi kemajuan pendidikan. Ada teladan yang dapat kita ambil dari keduanya, yakni berani untuk menyuarakan kebenaran dengan berbagai resiko menghadang.
Sehingga pada Peringatan Hari Pendidikan Nasional kali ini mereka layak mendapat penghargaan sebagai “Pahlawan Pendidikan masa kini”. Mereka telah mewarisi ajaraanya Ki Hajar Dewantoro sebagai Bapak Pendidikan Nasional yang yang berisi : tut wuri handayani (dibelakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (ditengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarso sung tulada (didepan memberi teladan).

Distorsi Pemahaman Ujian Sekolah

DISTORSI PEMAHAMAN UJIAN SEKOLAH
Oleh : Indra Yusuf *
Setelah selesai melaksanakan UN (Ujian Nasional), siswa kelas XII (SMA) dan Kelas IX (SMP) masih harus menghadapi US (Ujian Sekolah) dan ujian praktek, yang masih merupakan serangkaian paket evaluasi untuk menyelesaikan satuan pendidikan di tingkat menengah. Baik UN maupun ujian praktek sebetulnya dapat memengaruhi penentuan kelulusan, karena memang merupakan persyaratan kelulusan seperti apa yang dimaksudkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No 1 tahun 2007 tentang UN Tahun Pelajaran 2006/2007. Secara lebih rinci dalam POS (Prosedur Operasional Standar) UN tahun pelajaran 2006/2007 disebutkan bahwa seorang siswa dinyatakan lulus dari satuan pendidikan bila telah memenuhi 4 kriteria sebagai berikut ; (1) Menyelesaikan seluruh program pembelajaran (2) Memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran agama dan akhlak, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika dan kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan (3) Lulus ujian sekolah/madrasah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi dan (4) Lulus Ujian Nasional.
Namun apa yang terjadi dilapangan sangatlah nampak jelas pembedaan perlakuan antara UN dan US atau ujian praktek, UN yang penyelenggaraanya berdasar kebijakan ditingkat nasional sementara US hanyalah ditingkat sekolah. Hal ini terlihat juga pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 45 tahun 2006 tentang UN Tahun Pelajaran 2006/2007 pasal 18 menyatakan bahwa UN dinyatakan lulus jika memenuhi standar kelulusan sebagai berikut : (1) memiliki nilai rata-rata mnimal 5,00 untuk seluruh mata pelajaranyang diujikan, dengan tidak ada nilai di bawah 4,25 atau (2) Memiliki nilai minimal 4,00 pada salah satu mata pelajaran dengan nilai dua mata pelajaran yang lainnya minimal 6,00. Dalam Permendiknas No 5 tahun 2007 tentang US Tahun Pelajarn 2006/2007 tidak dijelaskan kriteria sebagaimana dalam UN melainkan riteria kelulusan US diserahkan kepada pihak sekolah masing-masing hanya dengan syarat batas standar tidak boleh dibawah nilai UN.
Tentu sudah dapat dipastikan ada kecenderungan anggapan UN lebih penting ketimbang US apalagi ujian praktek. Dari hal yang menyangkut sistem pelaksanaan, alat evaluasi dan pengawasan pun jauh berbeda. Sehingga Ketika UN belum dilaksanakan, berbagai persiapan jauh-jauh hari dilakukan oleh setiap sekolah, guru, siswa dan orang tua siswa dengan satu tujuan mengantarkan ke gerbang kelulusan. Persiapan yang dilakukan mulai dari memberikan tambahan jam pelajaran baik pada pagi hari (jam ke 0) maupun pada sore hari setelah jam sekolah bahkan ada yang sampai malam hari. Tidak sedikit para orang tua pun yang mempercayakan kepada lembaga bimbingan belajar untuk membekali anaknya agar dapat lulus UN dan harapan mendapatkan nilai yang baik. Pihak sekolah tertentu pun menggandeng lembaga bimbingan belajar untuk mamatangkan persiapan menghadapi UN walaupun hanya sekedar dalam pelaksanaan try out. Di sekolah lain ada yang melakukan sistem karantina kepada anak didiknya beberapa hari menjelang UN dengan maksud menciptakan atmosfer belajar yang kondusif, ditambah dengan kegiatan berdo’a dan dzikir bersama (Istighosah).
Para guru mata pelajaran yang Di UN-kan beberapa minggu menjelang UN sudah tidak terlihat proses belajar yang seperti sebagaimana biasanya dilakukan, semuanya sibuk dengan metode drill dan latihan soal (try out). Siswa tidak lagi diberi materi dan konsep-konsep pemahaman belajar yang rumit dan panjang, meski yang semestinya dilakukan dalam sebuah proses pendidikan, kini yang dikejar hanya pengetahuan kognitifnya (hafalan) saja tanpa memperhatikan aspek afektif dan psikomotor, itu artinya konsep belajar telah mengalami pergeseran atau mungkin juga mengalami degradasi. Lebih ironis lagi mendekati minggu pelaksanaan UN atau sekitar 1-2 minggu sebelum UN ada kebijakan dari sekolah yang “meliburkan” dulu mata pelajaran selain yang di UN- kan. Selama waktu itu siswa hanya mendapatkan pelajaran yang di UN-kan dengan dalih untuk lebih mengefektifkan proses belajar. Ini berati juga telah mengkerdilkan mata pelajaran yang tidak di UN-kan bahkan telah menihilkan proses belajar.
Semua tenaga dan pikiran guru tercurah kepada persiapan pelaksanaan UN karena ini menyangkut secara langsung citra dan nama baik lembaga sekolah bahkan daerahnya. Sehingga terjadi pemaksaan dan ekspektasi (berupa beban target kelulusan yang harus dicapai) dalam pelaksanaan sistem pendidikan dari atas sampai bawah, dari eksekutif kepada kepala dinas, dari kepala dinas kepada kepala sekolah dan dari kepala sekolah kepada guru dan akhirnya dari guru kepada muridnya. Fenomena tersebut telah menimbulkan dampak psikologis pada siswa dan dampak moral bagi lembaga sekolah. Sehingga disamping upaya-upaya yang tidak melanggar aturan dan norma, pelaksanaan UN sarat melahirkan praktik-praktik kecurangan yang dilakukan baik oleh siswa, guru, kepala sekolah bahkan bentuk praktik kecurangan yang sistematis pun mungkin terjadi.
Seperti layaknya Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Pilkadasung), untuk memenangkan calonnya dibentuklah tim sukses oleh masing-masing pihak yang berkepentingan. Demikian juga dalam mempersiapkan UN pembentukan tim sukses menjamur di setiap sekolah. Tidaklah menjadi persoalan apabila tim sukses tersebut dibentuk jauh-jauh hari sebelum pelaksanaan UN sehingga mempunyai jangka waktu yang cukup panjang untuk menentukan bagaimana cara dan strategi menghadapi UN. Tapi bagaimana jadinya kalau tim sukses (tim diluar kepanitiaan pelaksana UN) yang dibentuk ketika beberapa saat menjelang pelaksanaan UN, apa yang mereka dapat lakukan? Tentu ini mengundang kecurigaan.
Namun setelah UN berlalu, nyaris tak ada persiapan apapun untuk menghadapi US ataupun ujian praktek yang diselenggarakan pihak sekolah. Mereka setelah UN seolah-olah telah melalui satu-satunya syarat untuk mencapai sebuah kelulusan. Di beberapa daerah ada sekolah yang setelah melaksanaan UN siswanya langsung meluapkan kegembiraan dengan melakukan aksi corat-coret pada bajunya yang merupakan simbol berakhirnya masa sekolah padahal masih ada US dan ujian praktik. Malah di Jakarta Timur, Cirebon dan Jawa Tengah terjadi tawuran antar pelajar SMK persis setelah UN dilaksanakan, Mereka melakukan itu entah karena ketidaktahuan atau bagi mereka hanya UN yang menjadi faktor penetu kelulusannya.
Walaupun seringkali pemerintah melakukan sosialisasi tentang kriteria kelulusan bahwa UN bukan sebagai faktor tunggal dalam menetukan kelulusan seorang siswa tetapi hanya salah satu komponen yang menentukan kelulusan dan keputusan kelulusan tetap ada pada pihak sekolah masing-masing. Komponen lain yang dimaksud adalah US dan ujian praktek yang diselenggarakan berdasarkan kebijakan sekolah dan disamping tentu faktor sikap dan perilaku siswa selama 3 tahun. Artinya siswa dapat saja dinyatakan tidak lulus walaupun nilai UN yang diperoleh di atas batas standar kelulusan. Tapi pemerintah juga tidak memahami kenyataan dilapangan, mereka yang telah terlanjur menganggap UN sebagai satu-satunya syarat kelulusan sulit untuk diubah pemahamannya dan hal ini dirasakan cukup beralasan. Karena ketika siswa yang nilai UN-nya memenuhi standar kelulusan sudah hampir dapat dipastikan akan lulus walaupun nilai harian dan US sebetulnya rendah, tapi tidak begitu sebaliknya jika seorang siswa yang dari kelas satu sampai kelas tiga selalu mendapatkan peringkat pertama tapi mendapatkan nilai UN dibawah standar maka dapat dipastikan dinyatakatan tidak lulus dan pihak sekolah tidak dapat berbuat banyak, yang katanya sebagi penentu kebijakan lulus tidaknya seorang siswa. Ini terbukti dari beberapa kasus yang terjadi tahun kemarin seperti seorang siswa yang bintang kelas bahkan ada juga yang pernah menjuarai olinpiade tingkat nasional dinyatakan tidak lulus dan sekarang masing berlangsung sidang gugatannya.
Dari beberapa kasus yang terjadi menunjukan bahwa hakekatnya UN memang sebagai satu-satunya jaminan (bukan syarat) untuk sebuah kelulusan. Keputusan UN sebagai single score dalam menentukan kelulusan telah menafikan proses belajar siswa salam 3 tahun dan prinsip evaluasi dalam dunia pendidikan. UN hanya menjadikan US sebagai ujian nomor dua dan dikhawatirkan dibarengi dengan anggapan bahwa pelajaran yang tidak di UN-kan juga menjadi pelajaran no dua. Bukankah makna pendidikan adalah sebagai pembentuk watak dan pribadi manusia yang tentu keberhasilanya tidak dapat diukur oleh salah satu factor saja. Sehingga para ahli pendidikan pun telah megusulkan hendaknya pelaksanaan UN bukan sebagai penentu kelulusan tapi hanya sekedar salah satu alat untuk mengetahui persebaran dan pemetaan tingkat kualitas pendidikan nasional saja. Tapi Pemerintah tetap bersikeras pada pendiriannya bahkan berencana untuk menyelenggarakan UN ditingkat Sekolah Dasar (SD) pada tahun ajaran mendatang 2007/2008.


Penulis : Guru SMA Negeri 7 Cirebon dan Pengajar Bimbel Ganesha Operation.
Baik UN maupun ujian praktek sebetulnya dapat memengaruhi penentuan kelulusan, karena memang merupakan persyaratan kelulusan seperti apa yang dimaksudkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No 1 tahun 2007 tentang UN Tahun Pelajaran 2006/2007. Secara lebih rinci dalam POS (Prosedur Operasional Standar) UN tahun pelajaran 2006/2007 disebutkan bahwa seorang siswa dinyatakan lulus dari satuan pendidikan bila telah memenuhi 4 kriteria sebagai berikut ; (1) Menyelesaikan seluruh program pembelajaran (2) Memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran agama dan akhlak, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika dan kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan (3) Lulus ujian sekolah/madrasah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi dan (4) Lulus Ujian Nasional.
Namun apa yang terjadi dilapangan sangatlah nampak jelas pembedaan perlakuan antara UN dan US atau ujian praktek, UN yang penyelenggaraanya berdasar kebijakan ditingkat nasional sementara US hanyalah ditingkat sekolah. Hal ini terlihat juga pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 45 tahun 2006 tentang UN Tahun Pelajaran 2006/2007 pasal 18 menyatakan bahwa UN dinyatakan lulus jika memenuhi standar kelulusan sebagai berikut : (1) memiliki nilai rata-rata mnimal 5,00 untuk seluruh mata pelajaranyang diujikan, dengan tidak ada nilai di bawah 4,25 atau (2) Memiliki nilai minimal 4,00 pada salah satu mata pelajaran dengan nilai dua mata pelajaran yang lainnya minimal 6,00. Dalam Permendiknas No 5 tahun 2007 tentang US Tahun Pelajarn 2006/2007 tidak dijelaskan kriteria sebagaimana dalam UN melainkan riteria kelulusan US diserahkan kepada pihak sekolah masing-masing hanya dengan syarat batas standar tidak boleh dibawah nilai UN.
Tentu sudah dapat dipastikan ada kecenderungan anggapan UN lebih penting ketimbang US apalagi ujian praktek. Dari hal yang menyangkut sistem pelaksanaan, alat evaluasi dan pengawasan pun jauh berbeda. Sehingga Ketika UN belum dilaksanakan, berbagai persiapan jauh-jauh hari dilakukan oleh setiap sekolah, guru, siswa dan orang tua siswa dengan satu tujuan mengantarkan ke gerbang kelulusan. Persiapan yang dilakukan mulai dari memberikan tambahan jam pelajaran baik pada pagi hari (jam ke 0) maupun pada sore hari setelah jam sekolah bahkan ada yang sampai malam hari. Tidak sedikit para orang tua pun yang mempercayakan kepada lembaga bimbingan belajar untuk membekali anaknya agar dapat lulus UN dan harapan mendapatkan nilai yang baik. Pihak sekolah tertentu pun menggandeng lembaga bimbingan belajar untuk mamatangkan persiapan menghadapi UN walaupun hanya sekedar dalam pelaksanaan try out. Di sekolah lain ada yang melakukan sistem karantina kepada anak didiknya beberapa hari menjelang UN dengan maksud menciptakan atmosfer belajar yang kondusif, ditambah dengan kegiatan berdo’a dan dzikir bersama (Istighosah).
Para guru mata pelajaran yang Di UN-kan beberapa minggu menjelang UN sudah tidak terlihat proses belajar yang seperti sebagaimana biasanya dilakukan, semuanya sibuk dengan metode drill dan latihan soal (try out). Siswa tidak lagi diberi materi dan konsep-konsep pemahaman belajar yang rumit dan panjang, meski yang semestinya dilakukan dalam sebuah proses pendidikan, kini yang dikejar hanya pengetahuan kognitifnya (hafalan) saja tanpa memperhatikan aspek afektif dan psikomotor, itu artinya konsep belajar telah mengalami pergeseran atau mungkin juga mengalami degradasi. Lebih ironis lagi mendekati minggu pelaksanaan UN atau sekitar 1-2 minggu sebelum UN ada kebijakan dari sekolah yang “meliburkan” dulu mata pelajaran selain yang di UN- kan. Selama waktu itu siswa hanya mendapatkan pelajaran yang di UN-kan dengan dalih untuk lebih mengefektifkan proses belajar. Ini berati juga telah mengkerdilkan mata pelajaran yang tidak di UN-kan bahkan telah menihilkan proses belajar.
Semua tenaga dan pikiran guru tercurah kepada persiapan pelaksanaan UN karena ini menyangkut secara langsung citra dan nama baik lembaga sekolah bahkan daerahnya. Sehingga terjadi pemaksaan dan ekspektasi (berupa beban target kelulusan yang harus dicapai) dalam pelaksanaan sistem pendidikan dari atas sampai bawah, dari eksekutif kepada kepala dinas, dari kepala dinas kepada kepala sekolah dan dari kepala sekolah kepada guru dan akhirnya dari guru kepada muridnya. Fenomena tersebut telah menimbulkan dampak psikologis pada siswa dan dampak moral bagi lembaga sekolah. Sehingga disamping upaya-upaya yang tidak melanggar aturan dan norma, pelaksanaan UN sarat melahirkan praktik-praktik kecurangan yang dilakukan baik oleh siswa, guru, kepala sekolah bahkan bentuk praktik kecurangan yang sistematis pun mungkin terjadi.
Seperti layaknya Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Pilkadasung), untuk memenangkan calonnya dibentuklah tim sukses oleh masing-masing pihak yang berkepentingan. Demikian juga dalam mempersiapkan UN pembentukan tim sukses menjamur di setiap sekolah. Tidaklah menjadi persoalan apabila tim sukses tersebut dibentuk jauh-jauh hari sebelum pelaksanaan UN sehingga mempunyai jangka waktu yang cukup panjang untuk menentukan bagaimana cara dan strategi menghadapi UN. Tapi bagaimana jadinya kalau tim sukses (tim diluar kepanitiaan pelaksana UN) yang dibentuk ketika beberapa saat menjelang pelaksanaan UN, apa yang mereka dapat lakukan? Tentu ini mengundang kecurigaan.
Namun setelah UN berlalu, nyaris tak ada persiapan apapun untuk menghadapi US ataupun ujian praktek yang diselenggarakan pihak sekolah. Mereka setelah UN seolah-olah telah melalui satu-satunya syarat untuk mencapai sebuah kelulusan. Di beberapa daerah ada sekolah yang setelah melaksanaan UN siswanya langsung meluapkan kegembiraan dengan melakukan aksi corat-coret pada bajunya yang merupakan simbol berakhirnya masa sekolah padahal masih ada US dan ujian praktik. Malah di Jakarta Timur, Cirebon dan Jawa Tengah terjadi tawuran antar pelajar SMK persis setelah UN dilaksanakan, Mereka melakukan itu entah karena ketidaktahuan atau bagi mereka hanya UN yang menjadi faktor penetu kelulusannya.
Walaupun seringkali pemerintah melakukan sosialisasi tentang kriteria kelulusan bahwa UN bukan sebagai faktor tunggal dalam menetukan kelulusan seorang siswa tetapi hanya salah satu komponen yang menentukan kelulusan dan keputusan kelulusan tetap ada pada pihak sekolah masing-masing. Komponen lain yang dimaksud adalah US dan ujian praktek yang diselenggarakan berdasarkan kebijakan sekolah dan disamping tentu faktor sikap dan perilaku siswa selama 3 tahun. Artinya siswa dapat saja dinyatakan tidak lulus walaupun nilai UN yang diperoleh di atas batas standar kelulusan. Tapi pemerintah juga tidak memahami kenyataan dilapangan, mereka yang telah terlanjur menganggap UN sebagai satu-satunya syarat kelulusan sulit untuk diubah pemahamannya dan hal ini dirasakan cukup beralasan. Karena ketika siswa yang nilai UN-nya memenuhi standar kelulusan sudah hampir dapat dipastikan akan lulus walaupun nilai harian dan US sebetulnya rendah, tapi tidak begitu sebaliknya jika seorang siswa yang dari kelas satu sampai kelas tiga selalu mendapatkan peringkat pertama tapi mendapatkan nilai UN dibawah standar maka dapat dipastikan dinyatakatan tidak lulus dan pihak sekolah tidak dapat berbuat banyak, yang katanya sebagi penentu kebijakan lulus tidaknya seorang siswa. Ini terbukti dari beberapa kasus yang terjadi tahun kemarin seperti seorang siswa yang bintang kelas bahkan ada juga yang pernah menjuarai olinpiade tingkat nasional dinyatakan tidak lulus dan sekarang masing berlangsung sidang gugatannya.
Dari beberapa kasus yang terjadi menunjukan bahwa hakekatnya UN memang sebagai satu-satunya jaminan (bukan syarat) untuk sebuah kelulusan. Keputusan UN sebagai single score dalam menentukan kelulusan telah menafikan proses belajar siswa salam 3 tahun dan prinsip evaluasi dalam dunia pendidikan. UN hanya menjadikan US sebagai ujian nomor dua dan dikhawatirkan dibarengi dengan anggapan bahwa pelajaran yang tidak di UN-kan juga menjadi pelajaran no dua. Bukankah makna pendidikan adalah sebagai pembentuk watak dan pribadi manusia yang tentu keberhasilanya tidak dapat diukur oleh salah satu factor saja. Sehingga para ahli pendidikan pun telah megusulkan hendaknya pelaksanaan UN bukan sebagai penentu kelulusan tapi hanya sekedar salah satu alat untuk mengetahui persebaran dan pemetaan tingkat kualitas pendidikan nasional saja. Tapi Pemerintah tetap bersikeras pada pendiriannya bahkan berencana untuk menyelenggarakan UN ditingkat Sekolah Dasar (SD) pada tahun ajaran mendatang 2007/2008.


Penulis : Guru SMA Negeri 7 Cirebon dan Pengajar Bimbel Ganesha Operation.
(artikel pernah di muat pada harian Mitra Dialog)
.

Bimbingan Belajar dan Matinya Profesi Guru

Bimbingan Belajar dan Matinya Profesi Guru
Oleh : Indra Yusuf*
Gong Kematian pendidikan nasional telah dibunyikan , sekolah dan guru tidak lagi percaya dan dipercaya sebagai pendidik dan pengajar. Tugas mereka telah digantikan lembaga bimbingan belajar atau bimbel. Etika profesi pun digadaikan demi uang. Kehadiran lembaga bimbel di sekolah negeri adalah tanda paling jelas tentang hancurnya moralitas dan matinya etika profesi guru. ( Kompas 14/03). Tulisan Doni Koesoema A yang berjudul “Menggadaikan Etika Profesi” menarik untuk disimak. Lebih lanjut dalam tulisan tersebut dijelaskan bahwa kerjasama bimbel dan sekolah menyiratkan konflik kepentingan antara sekolah, siswa (masyarakat) dan bimbel. Padahal bimbingan belajar atau lembaga konsultasi belajar atau sebenarnya lebih tepat disebut sebagai lembaga bimbingan tes kini kian banyak diminati siswa. Sebagian besar alasan siswa adalah untuk lebih menambah percaya diri dalam menghadapi UN, SPMB atau Ujian masuk perguruan tinggi negeri swasta lainnya atau hanya sekedar meningkatkan prestasi di sekolah. Bahkan sekolah swasta ataupun negeri sudah mulai menjalin kerjasama dengan lembaga ini. Hal ini juga didorong oleh perubahan kebijakan pemerintah mengenai standar kelulusan UN yang makin tinggi. Disamping adanya sistem seleksi penerimaan mahasiwa baru (SPMB atapun ujian masuk perguruan tinggi lainya).

Isi dari tulisan tersebut menarik juga untuk ditanggapi karena menyangkut etika profesi dan martabat guru, namun sebelum menyoal kerjasama antara bimbel dan sekolah ada baiknya kita mengetahui latar belakang lahirnya bimbel , plus- minusnya dan adanya faktor keterbatasan sekolah. Kehadiran lembaga ini telah cukup lama mewarnai dunia pendidikan kita. Namun keberadaannya masih mengundang pro dan kontra diantara pakar pendidikan negeri ini berkaitan dengan makna filosofi belajar didalamnya. Dan kehadiranya dianggap sebagai ancaman yang dapat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap sekolah dan dapat menggantikan peranannya.

Pada awalnya bimbel atau bimtes didirikan oleh sekelompok mahasiswa yang pada umumnya berasal dari PTN (Perguruan Tinggi Negeri) terkemuka. Mereka melihat peluang bisnis ketika musim penerimaan mahasiswa baru. Tingginya minat siswa untuk dapat kuliah di PTN menyebabkan ketimpangan antara daya tampung PTN yang terbatas dengan peminat yang jumlahnya jauh lebih besar. Sehingga terjadi persaingan yang sangat ketat untuk memperoleh kursi di PTN. Akhirnya sekelompok mahasiswa tadi membentuk kelompok belajar yang memberikan jasa untuk dapat membantu agar lulus dalam Sipenmaru ( SPMB model dulu sebelum UMPTN). Dengan bermodal pengalaman dan kemampuannya, kelompok mahasiswa tadi cukup sukses mengantarkan siswa—siswi ke PTN. Bermodal dari kesuksesan itu dalam waktu singkat kelompok belajar tersebut berkembang pesat menjadi lembaga bimbingan belajar yang dikelola secara profesional dan kepercayaan masyarakat pun kian meningkat.

Bimbingan belajar yang ada saat ini sebenarnya juga sama yakni mengantarkan siswanya untuk dapat lulus tes/ujian baik UN, US, SPMB maupun ujian masuk perguruan tinggi lainya. Sampai saat ini kepercayaan masayarakat pun masih tinggi terhadap lembaga ini. Terbukti tak pernah sepinya lembaga bimbingan belajar dari pendaftar, siswanya bahkan kini telah merambah ke Siswa SD dan SMP. Bagi siswa SD dan SMP selain untuk meningkatkan prestasinya disekolah juga untuk mempersiapkan UN dan seleksi masuk SMP dan SMA favorit. Lantas dimana posisi sekolah sebagai lembaga pendidikan formal? Apakah kepercayaan masyarakat terhadap sekolah tidak lebih baik dari lembaga bimbel atau bimtes. Siswa pun agaknya kurang Pede (percaya diri) dalam menghadapi UN dan SPMB kalau belum mengikuti bimbel di luar sekolahnya. Ironinya banyak sekolah yang mulai mejalin kerjasama dengan bimbel-bimbel ternama untuk mengantarkan siswanya agar lulus UN.

Sebetulnya kerjasama bimbel dan sekolah tidak dapat diartikan sebagai bentuk percaya atau tidak dipercayainya lembaga sekolah oleh masyarakat, ataupun pertanda guru tidak melaksanakan profesinya secara profesional dan total sebagaimana yang diungkapkan dalam tulisan tersebut. Bentuk kerjasama tersebut tidak lain adalah karena dorongan saling membutuhkan dan saling melengkapi perananya dari masing-masing lembaga. Dalam pasal 13 ayat 1 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas bahwa “Jalur pendidikan terdiri atas formal, nonformal dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya”. Jusrtu sekolah yang mejalin kerjasama dapat dikatakan telah memenuhi fungsinya sebagai fasilitator bagi siswa. Lembaga sekolah maupun bimbel memiliki model pembelajaran yang berbeda dan kekhasannya masing-masing. Yang semuanya dibutuhkan oleh seorang siswa, sebutlah dalam menghadapi SPMB atau UN. Ada beberapa hal yang tidak didapatkan siswa dari sekolah berkenaan dengan keterbatasan sekolah atau adanya kurikulum sebagai pembatas ruang gerak sekolah. Di sekolah siswa diajarkan materi yang berupa konsep-konsep yang panjang prosesnya dan tidak diperkenankan mengajarkan yang bersifat trik trik menjawab soal tanpa mengenal konsepnya dahulu. Sedangkan dalam SPMB yang dinilai bukanlah konsep atau prsoses tapi adalah hasil akhirnya. Sebagai perbandingan untuk menjawab satu soal matematika siswa akan membutuhkan 3-5 menit jika menggunakan konsep yang diajarkan sekolah sedangkan jika menggunakan teknik yang diperoleh dari bimbel cukup beberapa detik, dan ini jelas sangat mempengaruhi keberhasilan siswa dalam ujian, mengingat waktu ujian yang singkat. Disekolah siswa akan lebih baik diberi soal berbentuk uraian karena lebih memperlihatkan hasil proses belajar tapi mengapa pemerintah sendiri menetapkan bentuk soal UN berupa soal pilihan ganda, bukankah ini menunjukan ketidaksinkronan sistem evaluasi ? Jika guru memberikan model yang sama dengan di bimbel justru guru tersebut artinya telah membunuh kreatifitas siswa dan bertentangan terhadap profesinya sebagai pendidik bukan pengajar. Dan berarti sekolah telah mereduksi proses makna atau hakikat belajar. Sedangkan di bimbel tidak masalah karena memang fungsi dan perannya adalah membantu siswa lulus dalam suatu ujian. Sehingga ada beberapa kemungkinan dampak negatif yang dapat ditimbulkan seperti siswa malas berpikir dengan konsep belajar yang semestinya, mematikan kreatifitas belajar anak usia SD dan SMP karena dalam bimbel tidak ada sama sekali unsur pendidikannya yag ada hanya pengajaran.

Tipe soal yang diberikan pun berbeda, disekolah tidak diberikan model soal pilihan ganda kompleks dan soal sebab-akibat sedang dalam ujian SPMB ataupun ujian masuk perguruan tinggi yang lain ada. Disekolah siswa diberi Belum lagi kurikulum yang tidak sinkron dengan materi SPMB. Misal siswa kelas XII program IPS tidak mendapatkan pelajaran geografi tapi dalam SPMB materinya ada dalam mata ujian kemampuan IPS dan Disekolah tidak ada pelajaran IPS /IPA terpadu tapi di SPMB ada mata ujiannya. Dan masih banyak hal lain yang tidak didapatkan disekolah tapi dibutuhkan siswa dalam persiapan mengahadapi ujian SPMB atau lainya.

Dengan demikian antara lembaga sekolah dan bimbel sebetulnya merupakan mitra yang dapat saling melengkapi fungsi dan perananya masing-masing. Karena baik sekolah maupun bimbel sama-sama memiliki kekurangan dan keterbatasan. Dan kehadiran bimbel justru menambah kekayaan khasanah pendidikan kita. Diakui atau tidak berhasilnya siswa-siswi Indonesia dalam kancah pendidikan internasional melalui olimpiade ada andil dari lembaga bimbingan belajar. Kedua-duanya memberikan bekal yang sangat dibutuhkan siswa dalam menghadapi soal-soal ujian yang menetukan masa depannya. Berkaitan dengan masalah ini yang perlu dilakukan pemerintah adalah upaya untuk terus menyempurnakan sistem evaluasi yang ada baik berkaitan dengan UN ataupun seleksi masuk perguruan tinggi agar adanya kesinambungan dalam menilai antara proses belajar dan hasil belajar.







Penulis : adalah Guru SMA Negeri 7 Cirebon dan Pengajar pada Bimbel Ganesha Operation.
(tulisan ini telah dimuat di Harian Mitra Dialog pada tanggal 17 April 2007)

.

Menyukseskan UN Tanpa Kecurangan

Menyukseskan UN Tanpa Kecurangan
Oleh : Indra Yusuf*


Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) baik tingkat SMP maupun SMA selalu diwarnai isu terjadinya kecurangan. Dugaan kecurangan yang terungkap sebenarnya merupakan fenomena gunung es. Karena kecurangan yang terjadi bukan merupakan kasuistik melainkan kecurangan yang sistematis dan merebak diberbagai daerah dengan modus yang berbeda-beda. Kecurangan yang terjadi kerapkali tidak dapat dibuktikan dan dianggap tidak ada atau ditindaklanjuti. Yang mengungkapkan pertama kali kecurangan dalam pelaksanaan UN bukanlah pahlawan nurani pendidikan melainkan korban nurani pendidikan. Karena justru akan menjadi bumerang bagi yang membongkar kecurangan itu. Mereka menutup mata terhadap terjadinya berbagai macam kecurangan yang ada di lapangan. Mereka hanya tahu bahwa kebijakan pelaksanaan UN dapat menjadi alat pemetaan pendidikan yang selanjutnya berguna untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Sedangkan bagi daerah keberhasilan UN merupakan keberhasilan pembangunan dibidang pendidikan, sehingga kepala daerah pun sangat berkepentingan terhadap kesuksesan UN.
Kesan-kesan ditutup-tutupinya kecurangan UN pun tercermin dari apa yang diungkapkan oleh tim investigasi Inspektorat Jendral Depdiknas dan Kepala Pusat Penilaian Pendidikan Depdiknas, Burhanudin Tolla yang mengatakan Saat pelaksanaan UN tahun lalu, kami sudah minta BNSP untuk mengawasi ribuan sekolah yang melakukan kecurangan dalam UN. Memang ada yang terbukti. Sayang Mendiknas belum mengizinkan data-data sekolah yang diduga curang itu dipublikasikan secara luas (Kompas, 25/03/08).
Tentu belum hilang dari ingatan kita terhadap sekolompok guru yang menamakan dirinya Komunitas Air Mata Guru. Suatu kelompok guru yang telah berani mengikuti hati nuraninya sebagai seorang pendidik, untuk melaporkan berbagai macam tindakan kecurangan dalam pelaksanaan UN pada sekolah mereka di Medan dan daerah sekitarnya. Tapi perlakuan apa yang mereka terima, malah mereka diintimidasi secara fisik maupun mental, dianggap mencemarkan nama baik sekolah, diturunkan atau ditunda kenaikan pangkatnya hingga diberhentikan. Alih-alih melindungi depdiknas pun ikut menyudutkan mereka. Padahal dalam Undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya berhak memeperoleh perlindungan atau memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas
Kini UN sudah di depan mata akankan kita sebagai pendidik kembali menggadaikan idealisme kita, hanya karena takut tekanan dari pihak tertentu atau takut dianggap gagal. Istilah menyukseskan UN telah bergeser maknanya, menyukseskan UN memiliki makna bagaimanapun caranya agar semua siswa dapat lulus. Untuk tujuan itu maka dibentuklah tim sukses, yang bertugas sebagaimana layaknya tim sukses dalam pilkada, memenangkan pilkada dengan berbagai macam cara. Beberapa waktu lalu sekretaris Badan Standar Pendidikan nasional (BNSP) mengatakan Jangan sampai pelaksanaan UN di nodai kecurangan-kecurangan. Semuanya harus sesuai dengan Prosedur Operasi Standar (POS ) yang sudah di sosialisasikan ke daerah-daerah. Namun tampaknya kecurangan-kecurangan dalam berbagai bentuk masih akan mewarnai pelaksanaan UN 2008. Hal ini akan terjadi jika semua unsur terkait tidak punya komitmen yang kuat untuk menyukseskan UN tanpa kecurangan. Kehadiran tim pemantau independen yang berasal dari perguruan tinggi pun tidak dapat berbuat banyak. Banyaknya celah untuk melakukan kecurangan membuat sulit untuk mengawasi pelaksanaan UN bagi pengawas independen.
UN tahun 2008 akan kita hadapi, sudah siapkah kita untuk tidak berbuat yang menistakan dunia pendidikan. Tanggal 22 – 24 April adalah pelaksanaan UN bagi siswa SMA, tanggal 5 – 8 Mei pelaksanaan UN bagi siswa SMP. Sedangkan pada tanggal 13 – 15 Mei adalah pelaksanaan UASBN (Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional) bagi siswa SD/MI/SLB. Tentu kita berharap pelaksanaan UN disetiap jenjang pendidikan tahun ini lebih baik, bukan saja hasilnya melainkan juga prosesnya. Yaitu dengan tidak menodainya dengan tindakan kecurangan dalam bentuk apapun.
Tahun ini merupakan kali pertama diselenggarakannya UASBN, yang sampai dengan saat ini masih dilematis dalam kriteria penilainnya. Kriteria kelulusan UASBN ditetapkan oleh sekolah melalui rapat dewan guru dengan mempertimbangkan nilai minimum mata pelajaran yang diujikan dan nilai rata-rata ketiga mata pelajaran yang diujikan. Hal ini yang menimbulkan celah ketidakjujuran. Karena dengan sistem seperti ini bisa juga memicu terjadinya kecurangan akibat munculnya tekanan-tekanan dari pihak tertentu. Disamping itu dalam penentuan kelulusan ini terlihat juga ada dasar gengsi dari pihak sekolah dan daerah yang kadang tidak sesuai dengan kondisi riil di sekolah tersebut. Ini bisa terjadi karena daerah dan sekolah ingin dipuji karena menetapkan kriteria kelulusan yang cukup tinggi, sebagaimana diungkapkan oleh Lodi Paat, yaitu koordinator kualisi pendidikan.
Kalau kita amati penyebab terjadinya kecurangan pada setiap pelaksanaan UN adalah kompleks dan sebenarnya satu sama lain saling terkait (baca : sistematis). Gambaran terjadinya kecurangan yang tersistematis seperti, seorang kepala daerah tentu tidak mengharapkan sekolah didaerahnya memiliki tingkat kelulusan yang rendah. Lantas kepala daerah melakukan penekanan terhadap Kepala Dinas Pendidikan. Sedangkan kepala dinas melanjutkan pesan kepala daerah pada kepala sekolah dan kepala sekolah akhirnya menekan para guru.
Sebenarnya terjadinya kecurangan pada pelaksanaan UN itu disebabkan belum memahaminya makna pendidikan. Sebagian besar dari kita menganggap kegagalan adalah sebuah vonis, sehinggga siswa yang tidak lulus UN dianggap sebagai siswa yang bodoh, siswa yang tidak memiliki potensi. Kekeliruan itu yang menyebabkan kita semua takut terhap kegagalan. Padahal kesuksesan itu berawal dari kegagalan, seorang ilmuwan saja untuk menghasilkan sebuah penelitian melalui berbagai macam percobaan atau kegagalan.
Bagaimanapun membiarkan, mengajak, melakukan ataupun memerintahkan kecurangan dalam pelaksanaan UN sama halnya dengan menggali kuburnya sendiri bagi dunia pendidikan. Karena jika kita terlibat dalam berbagai bentuk kecurangan itu artinya kita telah memberi teladan buruk kepada generasi penerus bangsa ini. Dapat dibayangkan apa yang terjadi di masa yang akan datang ? Mari kita sukseskan UN tanpa berbuat curang demi anak didik kita.

*Indra Yusuf adalah Guru SMA Negeri 7 Kota Cirebon dan Anggota Asosiasi Guru Penulis PGRI-Jawa Barat. (Tulisan ini telah dimuat di Harian Pelita)
.

Peran Sekolah dalam Voters Educations


Peran Sekolah dalam Voters Education
Oleh : Indra Yusuf*


Hiruk pikuk pesta demokrasi saat ini lebih terasa dari sebelumnya. Terlebih lagi bagi daerah-daerah yang akan menggelar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Karena pilkada secara langsung merupakan untuk pertama kalinya bagi pelaksanaan demokrasi di Indonesia, baik dalam sekup provinsi maupun kabupaten atau kota. Aroma pilkada sudah sejak jauh-jauh hari begitu terasa menusuk indera kita.
Tokoh masyarakat, birokrat, politisi, akademisi, pengusaha atau apapun profesinya yang akan bertarung dalam pilkada sudah sejak awal memainkan berbagai manuvernya politiknya. Hampir setiap calon yang berminat tampil nampak getol mendekatkan diri dengan masyarakat. Berbagai macam cara pun dilakukan untuk dapat dikenal oleh masyarakat luas. Hal itu dianggap penting karena bagaimanapun dalam pelaksanaan pilkada popularitas figur calon sangat menentukan peroleh suara. Sementara waktu kampanye mereka anggap tidaklah cukup efektif untuk mendongkrak popularitasnya kecuali bagi calon incumbent. Mengingat waktu yang diberikan selama masa kampanye relatif singkat. Inipun terjadi pada level yang lebih tinggi yakni pada Pemilihan Presiden (Pilpres).
Sebagaimana kita saksikan lewat media, para tokoh politik nasional pun sudah mulai berancang-ancang dengan berbagai agenda acara yang dikemas dalam tajuk safari atau silahturahmi ke berbagai komunitas, pucuk pimpinan ormas, kelompok masyarakat bawah (grass root) atau hanya sekedar tampil di media massa. Spanduk dan baliho pun sudah menghiasi berbagai tempat dan fasilitas umum di setiap sudut kota, tanpa kejelasn siapa yang membayar pajak reklamenya.
Masyarakat nampaknya kini sedang dijadikan objek demokrasi bukannya sebagai subjek demokrasi. Padahal semestinya rakyat adalah subjek dari demokrasi sebagaimana yang terjadi pada negara-negara yang telah mapan dalam hal berdemokrasi.
Seharusnya pelaksanaan pilkada dapat dijadikan sebagai ajang pembelajaran demokrasi dan politik bagi masyarakatnya, namun kini sudah tidak terlihat lagi. Para calon sendiri telah memberikan teladan buruk bagi masyarakatnya dalam pembelajaran politik. Karena para calon sendiri telah melakukan pelanggaran-pelanggaran yang terkait aturan main atau mekanisme dalam berkampaye. Mereka juga telah memberikan contoh tidak baik bagi pelaksanaan demokrasi di daerah. Terjadinya konflik internal didalam tubuh partai ketika menentukan calon yang bakal diusung, yang terus berlanjut pada tindak anarkis dan kekerasan merupakan pendangkalan makna demokrasi. Dan masih banyak lagi hal-hal yang dianggap dapat merusak tatanan pembelajaran politik bagi masyarakat. Seperti isu terjadinya politik uang (money politics), kampanye yang bersifat memprovokasi (black campaign), bahkan ada beberapa daerah yang pelaksanaan pilkadanya diwarnai kericuhan dan kerusuhan diantara massa pendukung masing-masing calon.
Ketika pelaksanaan Pilkada sudah tidak lagi menjadi pembelajaran politik yang positif bagi rakyat, kita tidak tahu akan kemana arah perjalanan demokrasi kita dimasa mendatang? Agaknya kita perlu membenahi proses pendidikan bagi pemilih (voters education) didalam masyarakat kita. Agar masyarakat memahami benar makna demokrasi dalam pilkada. Jangan sampai ada pemahaman bahwa demokrasi selalu terkait dengan demontrasi dan pengerahan masa disaat kampanye saja.
Disamping itu sebenarnya ada yang lebih urgen dibalik voters education yakni (1) membangunkan kesadaran politik masyarakat agar mereka menjadi pemilih yang kritis dan rasional dalam menentukan pilihan politiknya, (2) memberikan informasi yang lengkap tentang mekanisme pelaksanaan pilkada, sehingga masyarakat terhindar dari kesalahan-kesalahan akibat keterbatasan informasi. (3). Menjadikan metode preventif yang cukup efektif untuk mengeliminasi konflik massa dalam pelaksanaan kampaye akibat meningkatnya polarisasi politik di tingkat masyarakat bawah.
Salah satu media yang strategis dalam menanamkan voters education adalah sekolah. Karena sekolah merupakan lembaga pendidikan dan tempat berkumpulnya para pemilih pemula (pelajar) yang belum memiliki pengalaman dalam menggunakan hak suaranya. Mereka sebagai masa mengambang (mass floating) mudah disetir kemanapun sesuai dengan tujuan dari kelompok-kelompok yang berkepentingan. Sehingga voters education mutlak sangat dibutuhkan bagi mereka. Untuk itu peran sekolah dalam penyelnggaraan voters education sangat dibutuhkan bagi mereka. Sementara pihak sekolah sendiri agaknya belum merespon dinamika politik yang saat ini berkembang. Walaupun demikian tentu bukan untuk mengarahkan sekolah menjadi arena politik praktis. Tentu ini kaitannya dalam konteks pembelajaran bagi para siswa.
Bagaimanapun sekolah juga berkewajiban terhadap pembentukan masyarakat politik yang arif, bijaksana, cerdas, Kritis, dan dewasa dalam demokrasi. Di sekolah voters education dapat dilakukan melalui mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan (PKn) atau pun secara khusus memberikan pelajaran tentang pendidikan politik dan kewarganegaraan (civics education) kepada siswanya.
Karena pelajar adalah bagian masyarakat yang mempunyai potensi suara yang cukup signifikan, disamping juga sebagai bagian dari masyarakat yang paling rentan terhadap eksploitasi dan kepentingan politis dari para kandidat peserta Pilkada. Untuk itu para pelajar atau pemilih pemula perlu dibekali dengan pendidikan politik, sehingga mereka juga akan menjadi bagian dari masyarakat yang memiliki sikap kritis dalam berbagai hal menyangkut pilkada, seperti sikap kritis terhadap kapabilitas dan kredibilitas sang calon, sikap kritis terhadap visi dan misi yang disampaikan sang calon, sikap kritis terhadap platform parpol yang mengusungnya, sikap kritis terhadap jejak rekam (track record) para calon serta sikap kritis terhadap pelaksanaan Pilkada itu sendiri.
Ada beberapa pesan yang perlu disampaikan kepada para pelajar terkait dengan pelaksanaan pilkada, seperti ; hendaklah aktif dalam pelaksanaan pilkada tanpa kekerasan, tidak mudah dieksploitasi, tidak apatis, anti money poitics, sehingg menjadikan sebagai awal gerakanan anti korupsi. Mengingat dalam mengembangkan voters education, sekolah memiliki fungsi yang sangat strategis dan efektif yaitu sebagai berikut : (1) Sekolah sebagai media pembelajaran politik yang dinamis. (2) Pelajar sebagai pemilih rasional dan Kritis. (3) Potensi pelajar sebagai pelopor ditengah masyarakat, (4) Jumlah pelajar yang akan memilih cukup signifikan.
Dengan pelaksanaan voters education yang efektif disekolah, diharapkan terbentuk kesadaran politik masyarakat yang tinggi dimasa yang akan datang. Masyarakat yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam berdemokrasi. Masyarakat yang tidak mudah terprovokasi atau terhasut oleh dan untuk kepentingan suatu kelompok atau golongan tertentu. Masyarakat yang mampu menentukan pilihannya secara tepat tanpa dipengaruhi oleh iming-iming apapun. Pada akhirnya demokrasi akan berjalan damai dan tertib tanpa tindak anarkis atau tindak kekerasan lainnya. Albert Camus sendiri mengatakan I’anarchie est I’abus de la democratie, yang artinya anarkisme adalah peyelewengan dari demokrasi. Sehingga suatu saat nanti, para politisi kita yang kini masih belajar berdemokrasi dapat memaknai demokrasi sebagai media untuk mewujudkan kesejahteraan rakya, bukan hanya sebagai jalan menuju kekuasaan.


Penulis : Pengasuh Redaksi Majalah Sekolah Optimis Kota Cirebon, Anggota Asosiasi Guru Penulis PGRI Jawa Barat.
(Artikel ini telah dimuat pada Harian Seputar Indonesia Sore pada 7 Januari 2007).

Pelajaran dari Kemenangan HADE


Pelajaran dari Kemenangan Hade
Oleh ; Indra Yusuf*

Kemenangan pasangan Hade dalam Pilgub Jabar tentu mengagetkan semua pihak. Karena sudah sejak awal pasangan ini tidak masuk dalam kalkulasi sebagai pasangan yang bakal memenangkan pilkada. Hal ini wajar karena pasangan Hade didukung koalisi PAN dan PKS yang tidak memiliki suara yang signifikan dalam pemilu legislatif di Jawa Barat pada tahun 2004 lalu. Sementara pasangan Aman merupakan koalisi terbesar yang mengantongi 41,5 persen dari total suara. Koalisi tersebut terdiri atas 3 parpol besar (PDIP, PPP dan PKB) dan 4 parpol lainnya. Demikian juga dengan pasangan Da’i yang memiliki modal cukup besar dengan dukungan Partai Golkar dan Demokrat yang mencapai angka 36 persen.
Apalagi lawan yang mereka hadapi adalah para calon incumbent yang berkolaborasi dengan para jendral yang telah lama berkecimpung dalam kancah politik nasional. Pasangan yang ada sebenarnya sudah sangat ideal antara unsur birokrat dan militer. Ditambah lagi kedua pasangan tersebut diusung oleh parpol besar yang mempunyai perolehan suara besar pula di Jawa Barat. Seperti Partai Golkar yang mendukung pasangan Da’i dan PDIP yang mendukung pasangan Aman. Rasanya lengkap sudah hitungan secara matematis-politis untuk mengantarkan pada sebuah kemenangan Para akademisi, pengamat dan pakar politik pun sebagian besar memproyeksikankan pasangan Da’i atau Aman yang bakal memenangkan pikada Jabar ini.
Namun semuanya tercengang tatkala hasil perhitungan cepat (quick qount) beberapa lembaga menunjukan keunggulan pasangan Hade. Kemenangan yang kian nyata itu begitu fenomenal sehingga menarik semua pihak untuk dapat mengambil pelajaran dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Dari 5 lembaga yang melakukan perhitungan secara cepat, semuanya mengunggulkan pasangan Hade. Kelima lembaga tersebut adalah : Litbang Kompas (Da,i : 24,30%, Aman : 35,34% dan Hade 40,37%), Lingkaran Survei Indonesia-LSI (Da,i : 24,75%, Aman : 35,31% dan Hade 39,94%), Pusat Studi Demokrasi dan HAM Surabaya (Da,i : 25,60%, Aman : 35,42% dan Hade 38,98%), Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Da,i : 25,25%, Aman : 33,02% dan Hade 41,74%) dan Lembaga Survei Indonesia (Da,i : 25,08%, Aman : 35,46% dan Hade 39,46%), (Kompas, 14/04).
Kemenangan pasangan Hade juga menyiratkan banyak makna yang dapat kita tafsirkan. Makna yang muncul terkait dengan beberapa fenomena yang saat ini berkembang di masyarakat Jawa Barat pada khususnya, dan bukan tidak mungkin menjadi fenomena masyarakat di seluruh Indonesia. Fenomena tersebut menjadi indikator bahwa sebagian besar masyarakat jabar kecewa terhadap jalannya pemerintahan dibawah calon incumbent. Masyarakat menilai kepemimpinan saat ini gagal dalam mewujudkan Jawa Barat yang gemah ripah repeh rapih. Sebagaimana dirasakan masyarakat Jabar saat ini, yakni melambungnya harga-harga kebutuhan bahan pokok sehingga tingkat daya beli masyarakat merosot tajam.
Pertumbuhan ekonomi Jabar sendiri pada periode 2003-2007 masih lebih rendah dibandingkan inflasi tahunan di Jabar. Kondisi ini mengakibatkan perbaikan ekonomi di Jabar belum terlihat akibat kenaikan harga. Pertumbuhan ekonomi Jabar periode 2003-2007 tiap tahunnya rata-rata 5,53 % sedangkan tingkat inflasi pertahun mencapai 8,6 % pertahun (Kompas, 28/04). Tingkat pengangguran yang kian membengkak merupakan ketidakmampuan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan lapangan kerja bagi masyarakatnya. Demikian juga di bidang kesehatan, masayarakat kecil masih mengalami kesulitan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang murah dan berkualitas.
Terlebih lagi di bidang pendidikan yang masih menyisakan sejumlah permasalahan yang seakan tak ada ujung pangkalnya. Gedung-gedung sekolah yang rusak dan tidak layak masih dengan mudah kita temui disetiap daerah, bahkan beberapa waktu yang lalu sebuah bangunan sekolah roboh dan ini tejadi di Kota Bandung yang notabene merupakan pusat pemerintahan Jabar. Hal lain yang menyangkut pendidikan adalah ketercapaian indeks pendidikan di Jawa Barat pun yang belum optimal. Berdasarkan data Bapeda dan BPS Provinsi Jawa Barat tahun 2003-2006 realisasi indeks pendidikan masih dua point dibawah target.
Angka partisipasi sekolah di Jabar pun masih rendah. Pada tahun 2007 dari 10,12 juta penduduk usia sekolah, hanya 78,2 persen yang mengenyam pendidikan sedangkan sisanya belum terjangkau oleh pendidikan. Partisipasi sekolah untuk tingkat menengah merupakan yang paling rendah yakni hanya 39,42 % dari 2,4 juta penduduk usia 16-18 tahun. Faktor utama rendahnya angka partisipasi sekolah menengah karena mereka lebih memilih bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dari bersekolah. Tahun 2007 di Jabar tercatat hampir 2 juta tingkat SLTA dan SLTP (kompas, 25/03). Indikator lain yang menunjukan bahwa pendidikan belum menjadi perhatian utama pemerintah Jawa Barat saat ini adalah belum terpenuhinya alokasi 20% dari APBD.
Kemenangan pasangan Hade juga dapat disimpulkan bahwa masyarakat menginginkan perubahan yang signifikan terhadap tingkat kesejahteraanya. Yang selama ini tidak mereka dapatkan dari pemerintah sebelumnya. Mereka juga beranggapan pembaharuan dan harapan baru yang dicita-citakan masyarakat hanya dapat tecapai oleh pemimpin yang baru. Pemimpin baru tentu sangat dekat asosiasinya dengan pasangan Hade mengingat dua calon lainnya merupakan Incumbent. Pemimpin baru mempunyai kelebihan karena mereka belum terbebani oleh kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan pada saat memerintah atau dengan kata memiliki track record yang bersih. Sehingga dalam mengeluarkan kebijakan yag berpihak pada rakyat kecil pun tidak akan ragu-ragu lagi.
Saat ini masayarakat mulai kritis dan menyadari, bahwa selama ini hanya dijadikan sebagai objek demokrasi oleh parpol-parpol besar. Hanya dibutuhkan ketika menjelang pilkada atau pemilihan umum. Setelah itu kembali masyarakat di campakan, ibarat kacang lupa kulitnya. Sehingga masyarakat mulai tertarik pada parpol kecil yang terlihat komitmen dalam memperjuangkan nasib rakyat dan terkesan bersih. Masyarakat sudah mengalami kejenuhan terhadap janji-janji yang berikan. Sementara dari hari ke hari tetap saja tidak ada perubahan yang berarti dalam kehidupannya. Lapangan kerja masih sulit harga barang yang terus melonjak tak terkendali adalah realitas yang dekat dan dirasakan masyarakat selama ini.
Kekecewaan masyarakat terhadap pemerintahan statusquo juga ditunjukan dengan turunnya partisipasi pemilih dalam Pilgub Jabar. Masih berdasarkan hasil perhitungan litbang Kompas , partisipasi pemilih pilgub Jabar hanya mencapai 65 persen. Jauh dibandingkan dengan partisipasi pemilu legislatif 2004 dan pemilu 1999 yang mencapai angka masing-masing 80 dan 90 persen. Ini juga pertanda yang perlu diwaspadai ketika masyarakat mulai apatis dalam setiap penyelnggaraan pesta demokrasi.
Faktor lain yang menjadi menyumbangkan kemenangan bagi pasangan Hade adalah usia dari para calon yang relatif masih muda dibandingkan dengan para calon lainnya. Usia yang muda menyiratkan adanya semangat dan idealisme yang kuat dibandingkan yang lebih tua dalam membangun daerah dan masyarakatnya. Apalagi rekam jejak mereka yang muda masih relatif bersih. Sehingga tidak akan sungkan-sungkan lagi dalam memberantas korupsi dan membangun citra birokrasi yang bersih.
Kemenangan Hade juga setidaknya dapat dijadikan introspeksi bagi calon incumbent dan partai-partai politik dalam memberikan pembelajaran politik bagi rakyatnya. Kemenangan Hade bukanlah kemenangan PKS ataupun PAN melainkan kemenangan seluruh masyarakat Jawa Barat. Mudah-mudahan Hade dapat membawa perubahan kearah yang lebih baik bagi masyarakat Jawa Barat umumnya dan masyarakat Cirebon pada khususnya. Sehingga pantura tidak lagi merasa menjadi anak tiri Jawa Barat.

Penulis adalah Peminat Masalah Sosial Politik.
(Tulisan ini telah dimuat pada Harian Mitra Dialog, 24 April 2008)
.