Rabu, 13 Agustus 2008

Pesan Moral Gerakan Kepramukaan


Oleh : Indra Yusuf*
Beberapa waktu lalu, tepatnya yakni pada tanggal 27 Juni 2008 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuka Raimuna Nasional IX 2008 di Bumi Perkemahan Cibubur yang diikuti oleh sekitar 13.000 anggota pramuka dari seluruh Indonesia. Raimuna Nasional yang berlangsung mulai dari tanggal 27 – 7 Juli 2008 merupakan salah satu agenda rutin yang diselenggarakan lima tahunan sekali. Selain di Bumi Perkemahan Cibubur, ada tiga perkemahan yang dijadikan tempat kegiatan Raimuna Nasional IX 2008, yaitu di Bumi Perkemahan Mandala Kitri, Taman Cibodas Cianjur Jawa Barat ; Barak TNI AD Gunung Bunder, Bogor dan Pantai Carnaval Ancol, Jakarta Utara.
Disamping kegiatan Raimuna, Pramuka masih banyak memiliki kegiatan menarik lainnya. Diantaranya Gladian Pimpinan Satuan, Perkemahan Wirakarya (PW), Pelatihan Pengelola Dewan Kerja (PPDK), Kursus Instruktur Muda (KIM) dan lain sebagainya. Gladian Pimpinan Satuan merupakan kegiatan Pramuka Penegak dan Pramuka Pandega bagi Pemimpin Sangga Utama, Pemimpin Sangga, dan Wakil Pemimpin Sangga serta pengurus Dewan Ambalan/Racana, yang bertujuan memberikan pengetahuan di bidang manajerial dan kepemimpinan. Sedangkan Perkemahan Wirakarya (PW), adalah pertemuan Pramuka Penegak dan Pramuka Pandega berbentuk perkemahan besar, dalam rangka mengadakan integrasi dengan masyarakat dan ikut serta dalam kegiatan pembangunan masyarakat.
Sementara kegiatan PPDK merupakan pertemuan Pramuka Penegak dan Pramuka Pandega yang menjadi anggota Dewan Kerja untuk memberikan pengetahuan dan pengalaman mengenai pengelolaan Dewan Kerja, sehingga para anggota Dewan Kerja di wilayah binaannya dapat mengelola dewan kerjanya secara efektif dan efisien. Sedangkan Kursus Instruktur Muda, adalah pertemuan Pramuka Penegak dan Pramuka Pandega pengembangan potensi Pramuka, baik sebagai pribadi, kelompok maupun organisasi untuk mensukseskan pelaksanaan upaya pengembangan sumber daya manusia, pengentasan pemiskinan dan penanggulangan bencana.
Berbeda dengan kegiatan lainnya, yang lebih banyak menonjolkan keterampilan manajerial atau kepemimpinan, sedangkan kegiatan Raimuna lebih menekankan pada nilai-nilai keberagaman (multikulturalisme) dan kecakapn hidup. Karena Raimuna Nasional diikuti dari berbagai peserta dengan latar belakang berbeda agama, daerah dan suku. Selama itu mereka dituntut hidup bersama, berlatih keterampilan, belajar mandiri, serta mengembangkan sikap toleran dengan penuh rasa persaudaraan. Raimuna Nasional ini diikuti Pramuka Penegak dan Pandega berusia 16-25 tahun atau mereka yang pada 2009 memiliki hak politik dalam pemilihan umum. Raimuna adalah gabungan kata dalam bahasa Ambei, Yepem Waropen, Papua yang artinya sekelompok orang yang hidup dalam suatu kekuatan yang selalu memberi semangat tinggi dalam mencapai tujuan.
Dalam kegiatan Raimuna para peserta diajarkan untuk dapat mengembangkan sikap toleransi dan dan persaudaraan yang berpijakan pada multikulturalisme. Pendidikan multikultural sangat penting dikembangkan bagi bangsa Indonesia mengingat negeri kita adalah negeri dengan heterogenitas yang tinggi. Bila semua lapisan masyarakat telah memahami kebhinekaan tentu hal ini dapat mencegah terjadinya konflik yang berbau sara. Melalui pendidikan berbasis multikultural juga diharapkan sikap dan mindset (pemikiran) siswa akan lebih terbuka untuk memahami dan menghargai keberagaman. Kecakapan hidup atau latihan keterampilan hidup itu ditujukan agar semua anggota pramuka bisa mandiri dilingkungannnya. Beberapa kecapapan hidup yang didapatkan diantaranya ; fotografi, sinematografi, komunikasi visual, jurnalistik, broadcasting, mengoperasikan radio, membuat desain website, montir sepeda motor, servis handphone, perakitan dan servis komputer. Kegiatan lainnya adalah lokakarya pemanasan global, perdagangan manusia, KDRT, kesehatan reproduksi remaja,dan lain sebagainya.
Pada kesempatan itu juga Presiden meminta kepada anggota Pramuka untuk menjaga kehormatan baret coklat yang para Pramuka kenakan. Saya juga mengenakan baret coklat karena ingin menjaga kehormatan Pramuka. Sejak Pramuka berdiri pada tahun 1961, saya sudah berdiri seperti kalian menjadi anggota Pramuka Siaga, ujar Presiden dalam sambutannya. Permintaan itu dikatakan Presiden, pertama-tama untuk hal yang sederhana dan nyata, yaitu menjaga kebersihan lingkungan sekitar. Permintaan menjaga kehormatan itu ditujukan juga untuk menjauhi aktivitas merusak, seperti menggunakan narkoba, pergaulan bebas dan tindak anarkisme (Kompas, 28/06/08).
Akhirnya kita berharap pesan yang disampaikan presiden dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, tidak saja oleh peserta Raimuna tapi juga oleh seluruh anggota pramuka dan para generasi muda bangsa ini. Degradasi moral yang menimpa sebagian besar kalangan remaja saat ini menjadi tantangan tersendiri bagi Pembina Pramuka dan guru-guru pada umumnya untuk dapat kembali memperbaiki moral generasi muda bangsa ini. Kita semua pun mendukung upaya Gubernur Jawa Barat untuk merevitalisasi kegiatan ekstrakulikuler Pramuka disekolah-sekolah sebagai salah satu media pendidikan generasi muda.
Akhirnya Gerakan Pramuka pada hakekatnya adalah bagian utuh dari pendidikan bangsa dan pembangunan nasional. Oleh karenanya gerakan pramuka mesti dikembangkan secara terarah, konstruktif dan edukatif dengan cara-cara yang lebih inovatif. Selamat Hari Pramuka yang ke – 47, 14 Agustus 2008.
(Artikel ini telah dimuat di Harian Mitra Dialog tanggal 14 Agustus 2008)

Jumat, 08 Agustus 2008

MENIMBANG DAMPAK SERTIFIKASI GURU

Oleh : Indra Yusuf*
Setelah sekian lama para guru menunggu ketidakjelasan pelaksanaan sertifikasi akhirnya kebijakan program sertifikasi guru baru dapat terlaksana pada bulan September ini. Program yang semestinya wajib dilaksanakan pemerintah paling lama 12 bulan terhitung sejak diberlakukanya UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen ternyata baru bulan ini akan digelar.
Salah satu hal yang menyebabkan molornya pelaksanaan sertifikasi adalah sikap Depdiknas yang menunggu keluarnya peraturan pemerintah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 11 ayat 4 UU No. 14 Tahun 2005 yang sampai saat ini memang belum diterbitkan. Sehingga kebijakan sertifikasi yang diselenggarakan sekarang tidak berlandaskan pada peraturan pemerintah sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang melainkan menggunakan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 18 Tahun 2007 tentang sertifikasi bagi guru dalam jabatan (Permendiknas No. 18 tahun 2007) sebagai dasar hukumnya.
Berdasarkan Permendiknas tersebut sertifikasi guru dalam jabatan dilaksanakan melalui uji kompetensi dalam bentuk portofolio. Penilaian dalam bentuk portofolio merupakan pengakuan atas pengalaman profesional guru dalam bentuk penilaian terhadap kumpulan dokumentasi yang mencerminkan kompetensi guru. Adapun portofolio yang harus dipenuhi mencakup : (1) kualifikasi akademik, (2) pendidikan dan pelatihan, (3) pengalaman mengajar, (4) perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, (5) penilaian dari atasan dan pengawas, (6) prestasi akademik, (7) karya pengembangan profesi, (8) keikutsertaan dalam forum ilmiah, (9) pengalaman organisasi dibidang pendidikan dan sosial, dan (10) penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.
Prosedur penilaian portofolio bagi peserta sertifikasi guru didasarkan pada pedoman sertifikasi yang dikeluarkan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen DIKTI) Depdiknas dan akan dilakukan oleh Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) penyelenggara sertifikasi guru. Penyelenggaraanya sendiri dalam bentuk rayon yang terdiri atas LPTK induk dan LPTK mitra yang dikoordinasikan oleh Konsorsium Sertifikasi Guru (KSG). Unsur KSG terdiri atas LPTK, Dirjen DIKTI, dan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Ditjen PMPTK).
Beberapa perguruan tinggi LPTK telah ditunjuk oleh Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) sebagai pelaksana sertifikasi guru. Dari 47 LPTK yang ditunjuk untuk menyelenggarakan sertifikasi 16 diantaranya merupakan perguruan tinggi agama yang dimaksudkan untuk menyertifikasi guru-guru agama. Untuk wilayah Jawa Barat Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) telah menunjuk Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung sebagai koordinator pelaksanan uji sertifikasi dengan dibantu 7 perguruan tinggi swasta (PTS) sebagai mitra.
Belum lagi sertifikasi gelombang pertama bagi sekira 190.450 (hanya sekitar 7%) guru dari sejumlah 2.700.000 lebih guru di seluruh Indonesia selesai. Namun berbagai persoalan dan potensi permasalahan telah muncul baik di lingkup Pemerintah (baca : Depdiknas maupun dinas pendidikan di daerah) sebagai pemegang kebijakan, LPTK sebagai pihak penyelenggara maupun dikalangan guru sendiri yang akan disertifikasi. Beberapa persyaratan yang harus dipegang oleh dinas pendidikan provinsi atau kabupaten/ kota dalam menetapkan siapa saja guru yang akan diikutsertakan dalam sertifikasi harus berdasarkan Permendiknas No 18 tahun 2007 yaitu : (1) masa kerja/pengalaman mengajar, (2) usia, (3) pangkat/ golongan (bagi PNS), (4) beban mengajar, (5) jabatan/ tugas tambahan, dan (6) prestasi kerja.
Permasalahan yang dirasakan bagi kalangan guru yang telah diusulkan untuk mengikuti program sertifikasi oleh dinas pendidikan setempat adalah masalah waktu. Mereka mengaku mengalami kesulitan dalam memenuhi dokumentasi yang akan dijadikan penilaian fortofolio. Karena beberapa guru menganggap tak cukup waktu untuk mengumpulkan berbagai dokumen yang telah berpuluh tahun lamanya hanya dalam waktu beberapa hari saja. Sebagai contoh untuk melegalisir ijazah sarjana saja perlu waktu beberapa hari jika perguruan tinggi tersebut berada di luar kota. Keterlambatan dinas pendidikan dalam hal sosialisasi dan penunjukan calon guru yang akan disertifikasi disinyalir merupakan faktor penyebabnya. Ini terbukti karena waktu yang sangat singkat menyebabkan beberapa guru peserta sertifikasi di beberapa daerah belum mengumpulkan berkas portofolio sampai dengan batas waktu yang telah ditentukan. Sementara di beberapa daerah lain hal ini disebabkan oleh tertutupnya akses informasi mengenai sertifikasi guru baik yang menyangkut kriteria maupun mekanisme untuk mendapatkan sertifikasi.
Kemudian persoalan lain yang muncul menyangkut mekanisme penunjukan guru yang akan diikutsertakan dalam sertifikasi. Akibatnya banyak kebijakan dinas pendidikan yang menuai protes dan rasa kekecewaan dikalangan guru. Gejala ketidakpuasan para guru dipicu oleh anggapan terpilihnya guru yang lebih junior untuk ikut sertifikasi, padahal masih ada guru yang lebih senior namun tidak terpilih. Hal ini memancing penafsiran mekanisme yang dilakukan masih belum memenuhi unsur objektif, transparan dan akuntabel melainkan masih melekatnya unsur subjektifitas atau bahkan ada unsur lain. Memang hal ini telah sejak awal menjadi kekhawatiran akan mendorong dan terbukanya kesempatan untuk terjadinya berbagai bentuk penyimpangan. Keadaan lain yang menyebakan terjadinya kerawanan praktik kolusi, nepotisme dan subjektifisme lainnya adalah sangat terbatasnya jumlah kuota guru peserta sertifikasi jika dibandingkan dengan jumlah guru yang telah memenuhi persyaratan kualifikasi.
Pada akhirnya program sertifikasi yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan kompetensi guru dalam meningkatkan mutu pendidikan nasional dikhawatirkan tidak akan tercapai. Justru program sertifikasi hanya akan memunculkan permasalahan-permasalahan baru bagi dunia pendidikan. Sebenarnya kalau memang pemerintah hendak meningkatkan mutu guru atau tenaga kependidikan tidak semestinya pemerintah memotong bagian dari sistem yang telah lama berjalan dengan melakukan sertifikasi kepada para guru-guru yang mendekati masa pensiun, bukankah itu sama sekali tak banyak berarti jika kita mengharapkan pada tenaga-tenaga yang telah lelah mendidik untuk kembali meningkatkan kinerjanya dan produktifitasnya dalam memenuhi tuntutan kompetensi dan profesionalisme seorang guru yang telah disertifikasi. Hal semestinya yang dilakukan pemerintah adalah memperbaiki kualitas calon guru dengan memperketat kendali mutu pada lembaga pendidikan yang mencetak guru atau tenaga kependidikan (LPTK) baik perguruan tinggi negeri ataupun perguruan tinggi swasta.
Sedangkan apabila pemerintah bermaksud meningkatkan kesejahteraan melalui sertifikasi tak seharusnya dilakukan secara setengah-setengah dengan hanya memberikan kepada guru yang telah disertifikasi saja. Melainkan pemerintah cukup dengan meningkatkan besarnya tunjangan fungsional ataupun dengan pemberian tunjangan profesi sesuai dengan ketentuan yang sudah ada, seperti berdasarkan golongan/kepangkatan atau masa kerjanya. Pemerintah pun tidak usah membuang biaya untuk penyelenggaraan sertifikasi yang ternyata besarnya melebihi dari yang akan dibayarkan kepada guru-guru yang telah disertifikasi pada tahun ini.
Dampak lain menyangkut pada kondisi psikologi maupun sosial bagi guru yang sudah disertifikasi maupun yang belum disertifikasi. Mau tidak mau efeknya pasti akan muncul tatkala seorang guru memiliki kewajiban yang sama tetapi dengan hak yang berbeda dan itu akan terjadi sampai dengan beberapa tahun mendatang. Kecemburuan sosial bagi guru yang telah memenuhi kualifikasi namun belum diberi kesempatan untuk ikut sertifikasi akan mengganggu kondusifitas kegiatan pembelajaran disekolah. Demikian juga bagi guru yang sudah disertifikasi akan menanggung beban psikologi karena merasa dituntut harus lebih dalam segala hal dari rekan-rekanya yang belum disertifikasi.
(Artikel ini telah dimuat di harian Kompas tanggal 18 Oktober 2007)

PLAGIARISME DAN MATINYA KULTUR AKADEMIK

Oleh : Indra Yusuf
Tingkat intelektual seseorang ternyata tidak mutlak ditentukan oleh panjangnya gelar/titel yang disandangnya atau juga oleh tingginya jabatan yang didudukinya. Setidaknya ini terbukti dengan munculnya beberapa kasus yang dapat dikatakan sebagai bentuk kriminalisasi pendidikan. Yang mutakhir adalah Rektor Universitas Swadaya Gunung Djati (Unswagati) Cirebon yang tersandung kasus dugaan penjiplakan (plagiat).
DR. H. Djakaria Machmud, SE., SH., M.Si. diduga melakukan plagiat atas sebuah buku yang berjudul ”Manajemen Strategi dan Kebijakan Perusahaan” yang ditulis oleh Drs. H. Djaslim Saladin, SE., salah seorang dosen Universitas Islam Nusantara (Uninus) Bandung.
Dua peristiwa tersebut menunjukan kecenderungan telah terjadinya absurditas intelektual dan adanya sinyal yang menunjukan bahwa telah matinya kultur akademik, bukan saja di perguruan tinggi tersebut melainkan wajah dunia pendidikan di wilayah Cirebon. Penulis Menyesalkan apa yang diucapkan oleh Dekan Fakultas Ekonomi Unswagati yang mengatakan ”Tetapi yang perlu diingat adalah bahwa itu atas seizin pengarang dan sampai sekarang yang bersangkutan tidak keberatan. Lalu, sebenarnya masalahnya apa?" (Radar Cirebon 12/08/07). Ucapan itu seakan-akan menganggap ini adalah masalah sepele dan tidak memahami benar mengenai batasan -batasan etika pengambilan ide orang lain yang dalam penulisan suatu karya ilmiah

Mereka yang seharusnya dianggap sebagai golongan intelektual yang mengedepankan nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan objektivitas justru sebaliknya, sungguh ironi ! Mereka sama sekali tidak dapat menunjukan intelektualitas dan kecendikiawanannya ditengah penantian masyarakat akan kiprahnya. Padahal mereka telah memenuhi prasyarat dari sebuah kaum intelektual dengan menyandang gelar-gelar akademik yang berjejer beserta jabatan yang seharusnya hanya mampu dipegang oleh seorang intelektual sejati bukan intelektual instan dan pragmatis.
Intelektualitas merupakan kadar/derajat berpikir seseorang dalam menghadapi masalah dengan berbagai sudut pandang yang berbeda dan berpegang pada prinsip nilai-nilai universal yang terkandung dalam masyarakat. Tingkat intelektualitas seseorang pada akhirnya akan dapat terlihat dari isi yang ada didalam kepalanya, yakni kecermelangan dalam melontarkan ide/gagasan ketika memberikan solusi terhadap permasalahan yang terjadi didalam masyarakat. Kemudian dapat terlihat dari perilaku atau kiprahnya yang diwujudkan dalam tindakan dalam menyikapi sebuah persoalan. Sementara kultur akademik merupakan budaya dalam lingkup kampus yang kental dengan penggalian nilai-nilai yang berpangkal pada prinsip ilmiah dan objektifitas melalui suatu kegiatan penelitian. Kultur akademik hanya dapat diwujudkan oleh semua unsur (civtas academica) dalam suatu sistem institusi (universitas). Perguruan tinggi yang memegang teguh kultur akademik adalah perguruan tinggi yang telah mampu menjalankan tridharma perguruan tinggi dengan benar dan dapat dipertanggungjawabkan.
Kembali pada persoalan plagiarisme, dalam kamus Inggris Oxford plagiarisme adalah penyalahgunaan dalam menerbitkan, mengekspresikan, atau mengambil ide, tulisan, penemuan dan pemikiran orang lain. Sementara dalam kultur akademik praktik plagiarisme dapat digolongkan pada kejahatan akademik (academic crime) yang tidak bisa di tolerir lagi. Penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh seorang plagiator tidak saja merugikan bagi pemilik karya ilmiah yang dijiplak, melainkan juga bagi lembaga sang plagiat dan masyarakat luas. Karena tindakan plagiarisme telah meruntuhkan pondasi pendidikan yang telah dibangun secara bersama-sama oleh kalangan intelektual dan masyarakat. Seyogyanya kaum intelektual menjadi pelopor dan pejuang moral untuk membenahi bangsa ini tapi malah menjadi aktor persoalan baru. Nilai-nilai moral yang seharusnya ditegakan telah terkikis oleh kepentingan ekonomi, politis dan kepentingan-kepentingan lainnya.
Praktik palgiarisme sebenarnya merupakan penyakit lama dalam dunia pendidikan yang senatiansa mengancam dan menyerang para calon ataupun kaum intelektual. Hanya saja penyakit ini sulit untuk disembuhkan, karena peluang-peluang kearah sana masih terbuka lebar ditambah dengan keringnya kultur akademik di negeri kita. Usaha-usaha untuk membendung atau menangkal arus plagiarisme hanya sebatas wacana dan merupakan retorika saja tanpa adanya komitmen yang jelas. Karena memang secara ekonomi plagiarisme masih belum dianggap sebagai suatu hal yang sangat merugikan dibandingkan dengan dengan perbuatan lain, apalagi pertimbangan untung rugi jika mau memperkarakannya. Dari segi hukum, KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) pun praktik plagiat tidak termasuk didalamnya. Plagiat merupakan delik aduan sehingga kasusnya akan diproses jika ada laporan dari korban yang dirugikan. Untuk menjerat seorang palgiator pun harus menggunakan undang-undang hak cipta atau bagi mahasiswa dengan menggunakan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) No. 20 tahun 2003, yakni dalam pasal 25 yang menyebutkan bahwa : ” Lulusan perguruan tinggi yang karya ilmiahnya digunakan untuk memperoleh gelar akademik, profesi, atau vokasi terbukti merupakan jiplakan dicabut gelarnya, disamping tuntutan pidana penjara paling lama 2 tahun / atau pidanan denda paling banyak dua ratus juta rupiah”.
Mengapa hal ini kerap kali terjadi dalam dunia pendidikan kita ? Hal ini disebabkan karena beberapa faktor, terutama yang menyangkut sistem penyelenggaraan pendidikan. Disamping faktor budaya membaca dan menulis yang masih rendah serta tidak adanya kepastian hukum yang menjekaskan hal itu. Hasil pendidikan kita lebih banyak menghasilkan intelektual karbitan. Bukan pendidikan yang melakukan proses humanisasi liberasi yang membentuk intelektualitas transformatif. Pendidikan yang kita capai hanya bertujuan untuk hal-hal yang tidak esensial dan bersifat pragmatis.
Praktik plagiat atau jual beli seringkali juga terjadi pada tingkatan calon intelektual (mahasiswa) ketika akan menyelesaikan skripsi, tesis ataupun disertasi. Hal ini menunjukan kultur akademik yang belum tertanam dalam dunia pendidikan Indonesia. Kadang praktik kontra intelektual juga dibuka oleh oknum dosen sendiri, baik melalui jasa pembuatan skripsi ataupun melalui pelayanan bimbingan skripsi yang diberikan secara asal. Dosen pembimbing yang cermat, memiliki wawasan keilmuan yang kuat dan jam terbang tinggi akan lebih mudah membedakan skripsi mahasiswanya yang asli dan mana yang bukan hasil karyanya. Sehingga kemampuan dan intensifitas dosen dalam membimbing skripsi dapat membantu membendung budaya plagiat atau jual beli karya ilmiah.
Semuanya bermuara kepada kebiasaan para kaum intelektual yang masih rendah dalam hal tulis menulis. Jangankan dosen yang menulis untuk jurnal ilmiah, dosen yang menulis untuk media massa pun jumlahnya sangat terbatas. Sebagai contoh dari ribuan dosen yang berada di wilayah Cirebon jarang sekali kita menemui tulisan dosen yang muncul dimedia massa, sekalipun media massa lokal yang ada diwilayah Cirebon. Kalupun adanya jumlahnya sangat terbatas sekali jika dibandingkan dengan jumlah dosen yang ada. Di kampus pun masih sangat miskin akan penerbitan vak atau jurnal ilmiah yang notabene merupakan wadah untuk menuangkan keilmuannya tau temapat saling berinteraksinya antar disiplin ilmu untuk membangun kultur akademik.
Didalam perguruan tinggi sudah seharusnya digalakan budaya menulis bagi setiap sivitas akademika-nya mulai dari gurubesar sampai mahasiswa. Para dosen jangan hanya disibukan dengan kegiatan-kegiatan diluar kademik saja. Mahasiswa harus selalu dirangsang untuk meningkatkan budaya membaca sebagai modal awal untuk menulis karya ilmiah ataupun sekedar memperkaya wawasan keilmuannya. Setiap fakultas atau bahkan jurusan harus sudah mempunyai minimalnya satu jurnal ilmiah yang diterbitkan secara kontinyu atau berkala. Diantara mahasiswa perlu dibentuk komunitas ilmiah yang diisi dengan beragam kegiatan diskusi, dialog dan kajian ilmiah lainnya untuk membahas topik-topik aktual yang berkembang dimasyarakat. Setidaknya dengan berbagai upaya tersebut akan memperbaiki realitas buram pendidikan di wilayah Cirebon khususnya dan Indonesia pada umumnya.
(Artikel ini telah dimuat diharian Radar Cirebon tanggal 13/08/07)


Refeleksi Hari Guru Sedunia

Oleh : Indra Yusuf
Profesionalisme dan kesejahteraan guru adalah dua hal yang selalu mengemuka dalam membenahi persoalan guru (baca: pendidikan). Guru sendiri adalah ujung tombak untuk membangun generasi penerus yang akan menentukan masa depan suatu bangsa. Karenanya itu persoalan guruadalah persoalan masa depan sebuah bangsa dan sudah semestinya pemerintah segera merealisasikan aspirasi guru yang disampaikan melalui demonstrasi beberapa waktu lalu. Demikian juga dengan tulisan ini yang bermaksud mengkaji profesionalisme dan kesejahteraan guru dalam menyambut peringatan Hari Guru Sedunia (world teachers day) yang jatuh pada tanggal 5 Oktober.
Sebagian guru-guru di Cirebon atau bahkan ditanah air mungkin tidak banyak yang mengetahui bahwa tanggal 5 Oktober merupakan Hari Guru Sedunia (International teacher day). Hal ini dapat dimaklumi karena memang atas pertimbangan dari Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB-PGRI) terkait Hari Guru Sedunia yang bertepatan dengan Hari ABRI maka tidak diperingati pada tanggal tersebut. Melainkan disatukan dengan Hari Guru Nasional yang bertepatan dengan Hari Ulang Tahun PGRI yang jatuh pada tanggal 25 November mendatang.
Hari Guru Sedunia sendiri sebenarnya berkaitan dengan suatu peristiwa bersejarah pada tanggal 21 September – 5 Oktober 1966. Yaitu diselenggarakannya konferensi antar pemerintah di Paris yang dihadiri oleh wakil dari 76 negara anggota UNESCO termasuk Indonesia dan 35 organisasi internasional. Konferensi tersebut menghasilkan rekomendasi tentang status guru yang dikenal dengan “ILO/UNESCO, Recommendations Concerning the Status of Teachers”. Isi rekomendasi tersebut diantaranya menekankan pada profesionalisme dan kesejahteraan guru khususnya dinegara-negara berkembang.
Guru dituntut untuk meningkatkan profesionalismenya sementara guru pun balik menuntut akan peningkatan kesejahteraannya, ini adalah suatu hal yang logis. Karena bagaimanapun profesionalitas harus ditopang dengan tingkat kesejahteraan. dan memenuhi unsur well educated, well trained, well paid. Dimata masyarakat profesionalisme guru belum begitu diakui sebagaimana profesi lainnya seperti dokter atau pengacara. Ini terjadi akibat kebijakan pemerintah sendiri dalam bidang pendidikan yang tidak mempunyai konsep dan arah yang jelas serta berkesinambungan. Seseorang yang tidak belajar ilmu pendidikan (pedagogis), asalkan mau mengajar dapat saja menjadi guru. Banyak diantara guru yang tidak mencintai profesinya secara total dan tulus, karena pada umumnya mereka memilih profesi guru adalah merupakan pilihan kedua di tengah sulitnya mencari pekerjaan.
Padahal guru menurut UU No. 14 tahun 2005 adalah pekerjaan profesional yakni pekerjaan atau kegiatan pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh sesorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
Lebih lanjut dalam pasal 7 undang-undang tersebut dijelaskan beberapa prinsip profesionalitas yang meliputi : (a) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme (b) memiliki komitmen untuk meningkatkan ,mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia (c) memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas (d) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai bidang tugas (e) memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan (f) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuia prestasi kerja (g) memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dangan belajar sepanjang hayat (h) memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan dan (i) memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.
Jika kita melihat salah satu prinsip profesionalitas yang menyangkut kualifikasi akademik maka, derajat profesionalitas guru di Jawa Barat sangat rendah terutama bagi guru SD yakni hanya 17,15 persen yang telah berijazah sarjana. Sedangkan untuk guru SLTP dan SMA masing-masing 62 dan 82, 5 persen. Demikian juga dengan pelaksanaan sertifikasi, dari 1.778 guru di Jawa Barat hanya 1544 orang yang menyerahkan portofolio guna mengikuti sertifikasi guru untuk kuota tahun 2006. Dari jumlah yang mengumpulkan portofolio tersebut hanya 477 orang atau sekitar 27% yang lulus sertifikasi (Kompas, 27/09/07). Terkait soal kesejahteraan, di Kota Cirebon sendiri masih banyak guru yang tingkat kesejahteraanya sangat minim.Terutama adalah mereka yang berstatus guru honorer, guru kontrak dan Guru Bantu. Bahkan mereka seringkali terlambat menrima gaji dalam beberapa bulan. Sehingga kita seringkali mendengar banyaknya para guru yang mencari pekerjaan sambilan demi memenuhi kebutuhan hidaup sehari-harinya. Tentu hal ini akan mengakibatkan terganggunya konsentrasi dalam melaksanakan tugas mengajarnya.
Profesionalisme dan kesejahteraan guru kini sedang dibangun oleh pemerintah sejak ditetapkannya UU No 14 tahun 2005. Sedangkan jawaban pemerintah atas kedua persoalan tersebut adalah pelaksanaan sertifikasi guru yang baru-baru ini dilaksanakan. Kebijakan sertifikasi guru sendiri bertujuan untuk menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran meningkatkan profesionalisme guru mengangkat harkat dan martabat guru. Tapi muncul keraguan dikalang guru, akan berhasilkah kebijakan sertifikasi guru dalam mengatasi kedua persoalan tersebut ? Nampaknya gerbang harapan untuk membangun profesionalitas dan kesejahteran guru yang baru saja terbuka oleh UU No 14 tahun 2005 akan kembali tertutup dengan menyaksikan mekanisme pelaksanaan serifikasi guru yang cenderung hanya menimbulkan persoalan baru.
(Artikel ini telah dimuat di Harian Radar Cirebon tanggal 6 Oktober 2007)

Eksistensi Kaum Perempuan dalam Politik


Oleh : Indra Yusuf*
Awal abad ke-20 merupakan periode pertama ketika kaum perempuan telah memasuki wacana sosial intelektual Islam Indonesia dan menandai dimulainya merumuskan kembali sejauh mana eksistensinya ditengah-tengah perubahan sosial masyarakat Indonesia. Namun dewasa ini kasus-kasus kekerasan dan berbagai macam bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuan masih relatif tinggi. Kasus yang menonjol adalah masih maraknya ekspolitasi terhadap pekerja migran perempuan (TKW) dan kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga. Undang-undang atau peraturan serta kebijakan pemerintah masih belum mampu melindungi kaum perempuan dari berbagai perlakukan yang tidak adil. Realitas yang ada masih menunjukan peran perempuan yang termarjinalkan dalam berbagai bidang, seperti politik, hukum, ekonomi, kesehatan maupun budaya.

Dalam bidang politik, misalnya berbagai kedudukan penting kaum perempuan dipemerintahan baik sebagai eksekutif, yudikatif masih sangat lemah. Angka keterwakilan perempuan hanya 9,82 persen. Padahal partisipasi perempuan sebagai pemilih lebih besar daripada laki-laki, yakni 50,88 persen, sedangkan laki-laki hanya 49,12 persen. Bidang ekonomi atau ketenagakerjaan, tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan masih sangat kecil, yaitu sebanyak 51,2 persen. Itupun sebanyak 80 persen terserap disektor informal sebagai pembantu rumah tangga. Sementara dalam bidang ekonomi menunjukan masih rendahnya kemampuan perempuan untuk memperoleh peluang kerja dan usaha serta rendahnya akses terhadap sumberdaya ekonomi.

Dalam bidang hukum dan HAM, posisi perempuan saat ini masih lemah dan terdiskriminasi, terutama dalam kasus-kasus pemerkosaan, perzinahan, kekerasan, warisan dan pekerjaan. Ketimpangan jender dalam HAM muncul dalam bentuk penindasan, eksploitasi, kekerasan dan diskriminasi hak dalam keluarga masyarakat dan negara. Bidang pendidikanpun masih terdapat ketidaksetaraan jender yang ditunjukan oleh masih tingginya buta huruf dikalangan perempuan dan rendahnya jumlah perempuan yang mengenyam pendidikan tinggi.

Wacana emansipasi dan kesetaraan gender harus kita gelorakan kembali untuk mendapatkan semangat dan pemikiran-pemikiran yang baru tentang eksistensi kaum perempuan. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai kerangka dan tujuan pergerakan untuk kemajuan kaum perempuan, yakni :pertama, pengakuan hak dan status perempuan ditengah masyarakat. , memberi aturan posisi sosial perempuan. Ketiga, memberi perlindungan bagi perempuan menikah dan anak-anak mereka. Keempat, mengatur dan mengontrol praktek poligami. Kelima, menciptakan kesadaran sendiri kaum perempuan

Pandangan stereotif tradisional terhadap perempuan masih kental kita rasakan ketika berada ditengah-tengah kehidupan masyarakat tradisional. Kadangkala juga upaya pemberdayaan perempuan terkendala oleh pemahaman-pemahaman agama yang keliru. Banyak ajaran-ajaran agama yang penafsirannya keliru sehingga menjadi alasan untuk menjustifikasi posisi perempuan berada dibawah laki-laki atau (the second human being). Lantas upaya strategis apa yang harus dilakukan untuk mewujudkan eksistensi dan perempuan dalam ranah politik ?

Dalam menyongsong pemilu legislatif 2009 kita perlu mengoptimalisasi kuota perempuan dalam lembaga legislatif, sebagaimana amanat dalam Undang-Undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Diantaranya dalam Pasal 8 ayat 1 huruf (d) disebutkan untuk menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat. Kemudian juga dalam Pasal 57 ayat (1) KPU melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPR dan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. Ayat (2) KPU provinsi melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPRD provinsi danverifikasi terhadap terpenuhinya jumlah sekurang-kurangnya 30% (tigapuluh perseratus) keterwakilan perempuan. Ayat (3) KPU kabupaten/kota melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPRD kabupaten/kota dan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah sekurangkurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.

Namun demikian kuota perempuan di legislatif jangan sampai sebatas artifisila, untuk itu ada beberapa upaya yang perlu dilakukan untuk memeperjuangkan kuota perempuan yang akan menduduki lembaga legislatif. Upaya-upaya terebut diantaranya adalah : Pertama, meningkatkan pemahaman dan kesadaran politik kaum perempuan sehingga semakin berminat untuk terjun di politik. Kedua, meyakinkan parpol bahwa peran serta perempuan dalam pengambilan kebjikan publik sangat penting sehingga perlu meningkatkan rekruitmen calon perempuan. Ketiga, meyakinkan masyarakat termasuk media massa, agar mendukung keterwakilan perempuan pada lembaga legislatif, khususnya lembaga legislatif daerah, (Siti Musdah Mulia ; 2005).

Akhirnya kita berharap dengan terpenuhinya kuota 30 persen akan lahir kebijakan-kebijakan yang memiliki keberpihakan terhadap kaum perempuan. Sehingga kasus-kasus yang seringkali terjadi pada kaum perempuan seperti yang telah dikemukan sebelumnya dapat ditekan .***

Kegagalan Implementasi Program BSE


Oleh: Indra Yusuf
Tahun ajaran ini kembali pemerintah mengeluarkan kebijakan pendidikan, yakni program Buku Sekolah Elektronik (BSE). Program ini merupakan program Depdiknas yang bertujuan untuk menyediakan buku teks pelajaran bermutu dan murah. Murah karena hak cipta buku tersebut telah di beli Depdiknas. Sehingga sekolah atau masyarakat dapat dengan leluasa mengunduhnya (download) pada situs yang telah disediakan, diantaranya melalui situs http://bse.depdinas.go.id/.

Sebenarnya program ini sangat baik hanya saja implementasi dilapangannya masih banyak menghadapi kendala, baik terkait dengan fasilitas sarana pendudkung atau internet maupun sumberdaya manusianya sendiri. Masih banyak guru yang belum familiar dengan computer ataupun internet, terlebih lagi bagi guru-guru SD yang berada diadaerh. Sehingga kendala yang timbulkan ini tidak lain karena kebijakan pemerintah yang selalu menghasilkan kebijakan setengah hati dan tidak berdasar pada realitas dilapangan. Agaknya kebijakan program BSE ini melengkapi kegagalan pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan pendidikan setengah hati lainnya. Lihat saja bagaimana kebijakan sertifikasi yang masih belum terealisasi dan bagaimana kebijakan UN yang masih kontraproduktif antara tujuan dan pelaksanaanya dilapangan.

Kebijakan program BSE diputuskan pemerintah jelas tanpa lebih dulu mengkaji secara mendalam tentang realitas kondisi pendidikan di daerah. Bayangkan saja pengguna internet di Indonesia saat ini baru 18 juta orang atau sekitar 5 persen dari jumlah penduduk. Adapun dari 72.000 desa di Indonesia, masih terdapat 38 desa yang belum bersamabung dengan perangkat komunikasi dan informasi. Sementara kebijakan program BSE adalah kebijakan yang berbasis teknologi internet. Mundurnya jadwal peluncuran program buku digital atau buku elektronik (e-book) dari 2 Agustus menjadi 20 Agustus juga mencerminkan ketidakseriusan pemerintah dalam setiap kebijakannya. Sementara tahun ajaran baru telah berjalan program buku teresebut baru akan segera diresmikan

Kegagalan pemerintah dalam program BSE ini juga diungkapkan oleh Ketua Pengurus Pusat PGRI, Sulitiyo yang menyatakan bahwa pemerintah dalam hal ini Depdiknas, diminta berjiwa besar dan berani mengakui gagal dalam penyediaan buku pelajaran yang tidak membebani masyarakat. Kegagalan pemerintah untuk mengatasi persolan buku pada setiap tahun ajaran baru jangan dialihkan pada guru atau penerbit. Banyak aturan soal pendidikan dan guru yang dilanggar pemerintah meskipun sudah ada undang-undangnya. Tetapi pemerintah selalu mengkambinghitamkan guru. Kami tidak ikhlas jika persoalan buku mahal semata-mata dialihkan kepada guru yang dinilai kolusi dalam pengadaan buku untuk siswa disekolah tertentu, (Kompas, 26/07/08). Demikian juga dengan pakar pendidikan HAR Tilaar yang berpendapat bahwa kebijakan Depdiknas terkait dengan e-book hanya Omong kosong. Lebih lanjut Ia mengatakan pesimistis program buku murah dapat berjalan optimal selama harga kertas masih mahal dan tidak adanya fasilitas di sekolah negeri (Media Indonesia, 6/8/08).

Kalau kita kaji sebenarnya program BSE juga bertentangan dengan konsep dasar KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Karena KTSP merupakan salah satu bentuk realisasi kebijakan desentralisasi di bidang pendidikan agar kurikulum benar-benar sesuai dengan kebutuhan pengembangan potensi peserta didik di sekolah dengan mempertimbangkan kepentingan lokal, nasional dan tuntutan global dengan semangat MBS. Sedangkan program BSE adalah bentuk kebijakan pendidikan yang bersifat sentralistis. Padahal dalam KTSP terdapat konsep dasar PBKL (Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal), yang artinya materi pelajaran yang disusun harus disesuaikan dengan keunggulan lokal masing-masing daerahnya, bukanya diseragamkan semua. Sebagai contoh pada mata pelajaran geografi, tentu dalam buku pelajarannya ketika membahas materi sumberdaya alam maka seharusnya pembahasan dan contoh-contohnya akan menekankan pada kondisi geografis daerah setempat.

Disamping itu kebijakan BSE juga dikhawatirkan banyak pihak akan mematikan usaha penerbitan buku serta juga kreatifitas menulis buku bagi guru. Saat ini banyak sekali para penulis buku pelajaran dengan penerbit yang berbeda-beda, sedangkan pada kebijakan BSE hanya ada satu penulis dan itupun masa berlakunya selama 15 tahun. Lantas bagaimana penulis buku yang lain ?

Sebagian besar daerah diseluruh Indonesia belum memanfaatkan keberadaan program buku digital tersebut. Termasuk di Cirebon sendiri belum ada satupun sekolah yang memanfaatkan program BSE. Sekolah masih menggunakan buku yang berasal dari para penerbit seperti tahun-tahun sebelumnya. Ditambah lagi tidak semua mata pelajaran dapat diunduh melalui program BSE, melainkan hanya baru beberapa mata pelajaran saja, bahkan untuk tingkat SMA.

Di sekolah pun masih terjadi penjualan buku, dan ini tentu bukan salah guru atau kepala sekolah asal tidak ada dipaksakan. Karena sebenarnya penjualan buku disekolah dapat membantu siswa juga, karena selain harga yang lebih murah, juga pembayarannya dapat diangsur.

Akhirnya diharapkan sebelum kebijakan buku digital ini dilanjutkan sebaiknya pemerintah melakukan kajian ulang terhadap berbagai implikasi dan kendala-kendala yang akan dihadapi dan menimbulkan masalah-masalah baru. Jangan sampai kebijakan yang telah menelan biaya yang sangat besar namun manfaatnya tak dapat dirasakan bagi masyarakat secara secara luas.

Rabu, 06 Agustus 2008

Fenomena Mudik dan Polarisasi Pembangunan


Oleh : Indra Yusuf*
Ketika Ramadhan akan berakhir dan beberapa hari menjelang Hari Raya Idul Fitri atau lebaran masyarakat perkotaan (Urban Society) telah kembali bersiap-siap melakukan tradisi tahunannya untuk pulang kampung atau biasa disebut mudik. Khusus untuk masyarakat yang berada di wilayah Jawa Barat selain mudik dikenal juga istilah munggahan yakni tradisi berkumpul dengan keluarga saat menjalankan ibadah puasa dihari pertama. Namun tradisi mudik lebih universal dibanding munggahan.Masyarakat beranggapan lebaran merupakan momentum yang paling baik untuk bersilaturahmi, saling memaafkan dan melepas kerinduan dengan keluarga, saudara, dan teman sekampung lainnya.
Secara bahasa (etimologis) arti mudik yakni naik, arti ini berkaitan dengan arah menuju ke hulu (sungai). Mengingat pada waktu itu hanya dikenal komunikasi sosial lewat sungai. Sehingga orang yang menuju ke hulu dapat diartikan kembali ke ibu, ke kampung halaman, ke nenek moyang, ke asal adanya, yang pada hakekatnya dapat diarikan kembali ke fitrah. Menurut Jakob Soemardjo mudik juga memiliki nilai arketipe bangsa, yakni nilai kesadaran kolektif bangsa yang tidak pernah melupakan jati dirinya, asal-usulnya, dan kampung halaman sebagai tempat kelahirannya. Disamping itu mudik juga menunjukan adanya nilai religiusitas yang terkandung didalam kehidupan masyarakat Jawa Barat khususnya.
Secara geografis mudik pada umumnya memiliki pola yang seragam yakni berasal dari kota-kota besar (primate City) menuju kota-kota kecil (hinterland) diwilayah sekitarnya bahkan sampai ke seberang pulau atau dari daerah perkotaan (urban) ke daerah pedesaan (rural). Banyak faktor yang mempengaruhi muncul dan terpeliharanya tradisi mudik. Tradisi mudik selalu menyita perhatian banyak pihak terkait dengan pola penanganan atau manajemennya. Sangat menarik karena walaupun terjadi tiap tahun dan memiliki pola yang sama tapi tetap saja membuat pemerintah khususnya Departemen Perhubungan dan pihak Kepolisian kerepotan dalam mengurusinya. Kerepotan Dephub dan instansi pemerintah lainnya dalam menangani arus mudik-balik berkaitan dengan beberapa upaya yang mesti disiapkan seperti : upaya penyediaan armada transportasi (khususnya moda darat dan laut), menetapkan kebijakan kenaikan toeslag angkutan umum dam infrastruktur lainya agar dapat melayani keinginan seluruh pemudik untuk sampai ke kampung halaman sebelum lebaran tiba.
Untuk musim mudik tahun ini persoalan kelancaran arus mudik-balik yang dihadapi pemerintah semakin kompleks. Beberapa persoalan klasik yang selalu muncul adalah percaloan tiket yang sulit untuk diberantas, khususnya bagi pengguna jasa kereta api. Terjadinya kemacetan lalu lintas yang disebabkan badan jalan yang sempit atau dalam tahap perbaikan merupakan hal yang sulit untuk dihindari bagi para pemudik, belum lagi adanya pasar tumpah tradisional yang berada disepanjang jalur mudik. Selain itu adanya peningkatan jumlah pemudik yang menggunakan kendaraan bermotor roda dua (bikers). Tentunya hal ini mendesak pemerintah untuk segera menyediakan jalur khusus roda dua agar tidak menambah kesemrawutan lalu lintas. Berdasarkan data dari Dephub dan kepolisian wilayah Cirebon jumlah pemudik yang menggunakan sepeda motor diperkirakan mencapai 2,4 juta kendaraan atau naik 31,29 persen dari tahun 2006 yang tercatat 1,8 juta kendaraan (Kompas, 21/09.07).
Setiap tahunnya fenomena mudik selalu diwarnai cerita duka yang mengundang keprihatinan dan kesedihan yang tak dapat dibayangkan oleh keluarga yang menati dikampung halaman. Terjadinya kecelakan lalu lintas merupakan penyebab utama disamping ada juga yang menjadi korban berbagai macam tindak kejahatan (kriminalitas). Pihak Kepolisian nyatanya belum mampu sepenuhnya menciptakan suasana nyaman dan aman selama perjalanan mudik, dengan alasan karena keterbatasan personil yang ada.
Sementara ini agaknya pemerintah hanya berupaya menangani berbagai persolan arus mudik-balik hanya berdasarkan satu sisi saja atau hanya untuk solusi jangka waktu pendek saja. Sehingga rasanya sulit mewujudkan mudik yang manusiawi sebagaimana yang diungkapkan dalam kolom jati ingsun Radar Cirebon (5/10). Karena berbagai upaya yang dilakukan pemerintah berkutat pada bagaimana caranya agar arus mudik-balik dapat berjalan lancar, tertib dan aman sehingga tingkat kecelakaan lalu lintas dan kriminalitas dapat ditekan serendah mungkin. Sedangkan sisi lain yang menjadi akar permasalahanya sendiri kurang disadari.
Sebenarnya persoalan mudik jika dianalisa melalui pendekatan keruangan dalam ilmu geografi (Spatial and Regional Approach) berawal dari tidak adanya keselarasan pembangunan antara wilayah primate city dan hinterlandnya atau antara urban dan rural. Sehingga fenomena mudik secara general memiliki pola yang tetap yakni dari kota besar ke kota kecil. Selain itu para pemudik sendiri sebagian besar terdiri dari orang-orang yang bekerja sebagai buruh pabrik, pedagang atau sektor informal lainnya. Dengan kata lain mereka adalah orang-orang daerah yang mencari penghidupan (baca : lapangaan pekerjaan) di kota-kota besar dengan bekal tingkat pendidikan yang pada umunya rendah. Dari sini terlihat fenomena mudik erat kaitannya dengan proses urbanisasi, mereka rela meninggalkan kampung halamannya dan mencoba mengadu nasib di kota besar yang konon lapangan kerja jauh lebih terbuka lebar dibandingakan di desanya. Memang pada kenyataan pembangunan segala bidang di kota jauh lebih pesat dibandingkan dengan pembangunan yang diselenggarakan di daerah. Termasuk juga dalam hal penyediaan fasilitas umum atau infrastruktur pendukung lainya termasuk kesempatan kerja yang tersedia sehingga pertumbuhan ekonomi lebih cepat dibanding didaerah. Sehingga bagi penduduk desa atau para urbanism ini merupakan daya terik tersendiri untuk pergi ke kota.
Permasalahan mudik akan selalu timbul apabila belum terlaksananya pemeraatan pembangunan antarkota dan antardaerah, melainkan terus melakukan polarisasi pembangunan di kota besar. Dan tentu arus mudik akan terus terjadi setiap tahunnya dengan kompleksitas yang makin tinggi. Pertumbuhan urban society makin cepat, mengingat kebiasaan pemudik membawa sanak saudaranya ketika kembali ke kota. Walaupun pemerintah telah mengantisipasinya dengan melakukan operasi yustisi setiap setelah lebaran atau dengan membuat regulasi atau perda kependudukan. Tapi overurbanisasi tetap terjadi dan berdampak negatif bagi kehidupan masyarakat kota, Seperti munculnya lingkungan kumuh (slum area) di pusat kota, meningkatnya kriminalitas, kemacetan lalulintas, meningkatnya jumlah gepeng (gelandangan dan pengemis) dan anjal (anak jalanan) serta kesemrawutan kota lainya.
Untuk mengendalikan tingkat urbanisasi tentu kita harus melihat faktor utama baik yang berupa push factors ataupun pull factors yang menyebabkan terjadinya urbanisasi. Yakni faktor industrialisasi dan tarikan sosial kultural masyarakat. Seandainya pembangunan indusitri yang berjalan selaras antara kota dan daerah tentu gejala mudik tidak akan serepot ini sehingga terhindar dari hal-hal yang merugikan baik bagi para pemudik maupun pemerintah sendiri. Karena dengan sendirinya masyarakat tidak akan meninggalkan kampung halamannya hanya untuk bekerja sebagai buruh pabrik, pedagang atau pekerjaan sektor informal lainya. Karena didaerahnya sendiri telah tersedia lapangan kerja yang memadai. Jadi fenomena mudik yang terjadi berhubungan erat dengan terjadinya polarisasi pembangunan di kota-kota besar, walaupun memang terkait juga dengan primordialisme dan mentalitas budaya masyarakat itu sendiri.
(Artikel ini telah dimuat di Harian Radar Cirebon "tanggalnya lupa ntar saya cari dulu arsipnya")

Senin, 04 Agustus 2008

KTSP, Tantangan atau Beban Bagi Guru ?

Oleh : Indra Yusuf*
Pada 21- 24 Mei 2008 Dinas Pendidikan dan SMA Negeri 1 Kota Cirebon menyelenggarakan workshop Bimbingan Teknis Kurikulum Tingkat Satuan pendidikan (Bintek KTSP) bagi kepala sekolah dan guru-guru SMA baik negeri maupun swasta di Kota Cirebon. Sebelumnya kegiatan serupa telah dilaksanakan pada 5- 8 Mei yang bertempat di SMA Negeri 6 Cirebon. Kegiatan ini merupakan bagian dari program Depdiknas di bawah bimbingan Direktorat Pembinaan SMA bersama Dinas Pendidikan Provinsi dan kabupaten/kota diseluruh Indonesia. Kegiatan workshop Bintek KTSP berlangsung di 250 SMA yang ditunjuk sebagai pihak penyelenggara dalam kurun waktu April hingga Agustus 2008.

Selain Mengenai KTSP dalam kegiatan workshop tersebut disosialisasikan pula mengenai program rintisan SKM / SSN (Sekolah Kategori Mandiri / Sekolah Standar Nasional) dan implementasi PBKL (Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal). SKM / SSN adalah sekolah yang telah memenuhi 8 SNP (Standar Nasional Pendidikan). SNP yang dimaksud meliputi : (1) Standar kompetensi lulusan (2) Standar isi (3) Standar pendidikan dan tenaga kependidikan (4) Standar proses (5) Standar sarana dan prasarana (6) Standar pembiayaan (7) Standar pengelolaan, dan (8) Standar penilaian pendidikan. Sedangkan PBKL merupakan merupakan pendidikan/program pembelajaran yang diselenggarakan pada satuan pendidikan sesuai dengan kebutuhan daerah, dengan memanfaatkan berbagai sumberdaya dan potensi daerah yang bermanfaat dalam proses pengembangan kompetensi peserta didik.

Sementara KTSP sendiri adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan dimasing-masing satuan pendidikan dasar dan menengah. KTSP merupakan kurikulum sebagai bentuk dari realisasi kebijakan desentralisasi pendidikan. Desentralisasi dilakukan agar kurikulum benar-benar sesuai dengan kebutuhan pengembangan potensi peserta didik di sekolah dengan mempertimbangkan kepentingan lokal, nasional dan tuntutan global dengan semangat MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). Sebenarnya KTSP merupakan penyempurnaan dari KBK, karena secara struktur dan bahan kajiannya adalah sama, hanya dalam implementasinya yang berbeda.

KTSP menuntut sekolah dan guru untuk lebih inovatif, kreatif dalam mengembangkan dan menggali keunggulan lokal yang dimilikinya. Mengingat dalam struktur dan muatan KTSP terdapat muatan lokal, kegiatan pengembangan diri, pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global. Jenis mulok yang akan diberikan dapat disesuaikan dengan ciri khas/ potensi keunggulan masing-masing daerah. Sebagai contoh Kota Cirebon dan Indramayu dapat mengembangkan muatan lokal yang berkaitan dengan ciri khas daerah pesisir, sedangkan Kuningan berorientasi potensi wisatanya.

Namun dalam mengembangkan KTSP agar tidak seenaknya, artinya keleluasaan yang diberikan harus dapat dipertanngungjawabkan maka perlu memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut : Pertama, berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan dan kepetingan peserta didik dan lingkungannya. Kedua, beragam dan terpadu, yakni memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik serta menhargai dan tidak diskriminatif terhadap perbedaan agama, suku,budaya dan status sosial-ekonomi. Ketiga, tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang berkembang secara dinamis. Keempat, relevan dengan kebutuhan kehidupan baik dimasyarakat maupun dunia kerja. Kelima, menyeluruh dan berkesinambuangan, yakni mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan antar semua jenjang pendidikan. Keenam, belajar sepanjang hayat yang mengarah pada proses pengembangan, pembudayaan, dan pemberdayaan peserta didik. Ketujuh, seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah.

Sebaliknya KTSP dapat juga berarti beban baik bagi sekolah maupun guru karena didalam KTSP sekolah dan gurulah yang banyak berperan untuk mengembangkan kurikulum tersebut. Sedangkan pemerintah pusat hanya hanya memberikan acuan berupa Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) ditambah dengan panduan yang disusun BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan). Guru yang terlanjur terbiasa hanya sebagai pelaksana kurikulum yang diuat dipusat kini harus mengembangkan model-model kurikulum. Tentu untuk melakukan hal itu memerlukan sosok guru yang kreatif, inovatif dan memiliki kompentensi dibidangnya. Sementara sebagaimana kita ketahui kualitas guru dan kemampuan sekolah sangatlah beragam, terlebih lagi bagi sekolah yang berada di daerah, tentu KTSP merupakan beban yang cukup memberatkan. Terutama dalam hal pembiayaan kegiatan pembelajaran, perlengkapan sarana-prasarana, kultur kerja maupun sumberdaya guru serta kompetensinya.Jadi KTSP dapat menjadi beban karena adanya disparitas kualitas pendidikan yang besar antara di daerah dan di kota.

Walaupun demikian kita berharap dengan penerapan KTSP, yang merupakan perubahan mendasar dibidang pendidikan akan mampu mendongkrak terhadap peningkatan kualitas pendidikan nasional. Jangan sampai perubahan kurikulum ini hanya perubahan yang tidak membawa pada kemajuan, melainkan hanya menambah beban bagi guru yang memang sudah banyak terbebani oleh berbagai persoalan. Apalagi perubahan tersebut berpotensi menimbulkan penolakan oleh guru secara psikologis karena sering berubahnya kurikulum, yang menyebabkan munculnya sikap apatis. Sehingga guru berpikir apapun kurikulumnya, namun akhirnya tetap saja proses pembelajarannya konvensional. Tentu hal itu sangat merugikan bagi guru yang bersangkutan, siswa dan kemajuan pendidikan nasional.

Oleh itu sebagai seorang guru yang profesional sudah seharusnya penerapan KTSP dijadikan sebagai suatu tantangan untuk menyelenggarakan pembelajaran yang lebih baik. Penerapan KTSP juga dapat mendorong guru-guru untuk mengembangkan kompetensi dan profesionalismenya. Namun tentu implementasi KTSP yang baik harus didukung oleh semua warga sekolah yang meliputi kepala sekolah, guru, siswa dan stakeholder pendidikan termasuk dukungan anggaran dana yang cukup besar.

PLTU dan Kesehatan Lingkungan


Oleh : Indra Yusuf*
Beberapa waktu yang lalu warga Kecamatan Astanajapura-Kabupaten Cirebon melakukan aksi unjuk rasa dengan melakukan pemblokiran jalur Pantura. Aksi warga tersebut merupakan bentuk penolakan terhadap proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berlokasi di Desa Kanci Kulon Kecamatan Astanajapura.
Alasan penolakan warga terkait dengan kekhawatiran akan adanya ancaman kerusakan lingkungan yang bakal terjadi. Pasalnya mega proyek tersebut belum dilengkapi dengan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Disamping persoalan lain yang menyangkut pembebasan lahan, karena ditengarai banyak ditemukannya sertifikat “bodong” (asli tapi palsu) yang melibatkan aparat terkait setempat sebagaimana dilansir oleh media, serta adanya ketidakpuasan warga terhadap besarnya nilai pembebasan lahan.
Mega proyek pembangunan PLTU di Kecamatan Astanajapurayang berkapasitas 660 MW (megawatt) telah direncanakan beberapa tahun lalu adalah bagian dari beberapa proyek yang lainnya. Proyek ini dilakukan dalam rangka menghadapi ancaman krisis listrik akan dialami Pulau Jawa-Bali. Kedua wilayah tersebut rawan defisit sumber energi listrik karena terlalu menggantungkan diri pada 2 pembangkit listrik induk, yaitu PLTU Suralaya-Banten (berkapasitas 3.400 Mw) dan PLTU Paiton-Jawa Timur (berkapasitas 2400 Mw) yang sudah tua dan sakit-sakitan (Kompas 28/07/07).
PLTU Cirebon sendiri sebenarnya dijadikan sebagai bagian dari rencana cadangan untuk mengantisipasi kegagalan proyek 10.000 Megawatt. Proyek Cash Program PLTU batubara atau yang dikenal dengan proyek 10.000 Mw adalah program percepatan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara. Proyek ini dilakukan bersama Cina, namun hingga kini perkembangannya belum jelas akibat mengalami keterlambatan dalam pencairan dana. Sehingga beberapa proyek pembangkit listrik termasuk PLTU Cirebon telah disiap dilaksanakan.
Dari berbagai sistem pembangkit listrik yang ada, memang PLTU merupakan sistem pembangkit listrik yang paling besar kontribusinya terhadap pencemaran lingkugan. Karena PLTU menggunakan bahan bakar fosil yaitu batu bara. Sedangkan ditinjau dari segi ekonomi PLTU merupakan sistem pembangkit listrik yang paling efisien atau murah. Sementara pembangkit listrik tenaga lain biayanya jauh lebih mahal, namun tingkat pencemarannya jauh lebih rendah daripada PLTU. Pembangkit listrik lain yang dimaksud adalah PLTA, PLTS, PLTN atau PLTPB.
Adapun sumber utama pencemaran PLTU sendiri berasal dari proses pembakaran batu bara yang menghasilkan gas polutan seperti gas Oksida Nitrogen (Nox) dan Oksida Sulfur (Sox). Sehinga apa yang dikhawatirkan warga akan terjadinya hujan asam cukup beralasan. Sebab kedua gas polutan tersebut pada saat berada di udara akan berubah menjadi asam nitrat dan asam sulfat yang merupakan senyawa utama penyebab terjadinya hujan asam. Hanya saja fenomena hujan asam bukanlah fenomena lokal yang akan selalu terjadi pada pada suatu wilayah yang mengalami pencemaran udara akibat kegiatan industri maupun PLTU, melainkan gejala hujan asam dapat terjadi dimana saja sekalipun pada daerah yang tidak tercemar atau tidak terdapat aktivitas pembakaran bahan bakar fosil.
Hujan asam memiliki sifat mengglobal karena bahan-bahan pencemar seperti Nox dan SOx dapat bergerak bebas terbawa angin hingga ratusan atau bahkan ribuan kilometer. Kita pun sulit untuk mendeteksi darimana sumber pencemaran tersebut berasal ketika terjadi hujan asam. Namun demikian persoalannya bukan sebatas ancaman terjadinya hujan asam atau tidak. Melainkan masih banyaknya dampak yang dapat ditimbulkan dari aktivitas PLTU. Pencemaran udara di sekitarnya yang merupakan akibat proses pengangkutan batu bara adalah dampak negatif lain yang secara langsung dirasakan warga yang berada tidak jauh dari lokasi PLTU. Sementara pencemaran air permukaan ataupun air tanah juga dapat terjadi, dan hal ini akan berimbas secara tidak langsung terhadap gangguan kesehatan penduduk di masa yang akan datang.
Pada dasarnya untuk menjadikan suatu kawasan yang dekat pemukiman sebagai PLTU harus melalui berbagai mekanisme yang sangat ketat sebagaimana yang diatur dalam undang-undang ataupun peraturan pemerintah tentang pengelolaan lingkungan hidup. Salah satunya melengkapi terlebih dahulu dengan Amdal sebelum kegiatan proyek dimulai dan pihak penanggung jawab proyek dapat meminta persetujuan terhadap warga setempat . Karena melibatkan masyarakat dalam penyusunan Amdal merupakan syarat yang terdapat dalam PP No 27 tahun 1999.
Jika warga setempat merasa keberatan daerahnya untuk dijadikan proyek PLTU, alangkah baiknya jika proyek tersebut perlu dikaji ulang. Atau pihak penyelengara proyek dalam hal ini PT Cirebon Electric Power (CEP) untuk melakukan pendekatan lebih manusiawi terhadap warga setempat sebelum proyek dimulai. Menjelaskan secara terbuka mengenai sejauh mana dampak yang akan ditimbulkan terhadap kesehatan lingkungan sekitar serta implikasi dan kompensasinya terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Bagaimanapun proyek yang bertujuan baik jangan sampai malah merusak kesehatan lingkungan dan menyengsarakan rakyat kecil.

.

Weblog Sebagai Media Pembelajaran Interaktif


Oleh : Indra Yusuf*
Kini paradigma guru sebagai sumber informasi dan pengetahuan bagi siswa telah usang. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat, sekaligus menandai era keterbukaan informasi. Saatnya siswa dan guru masing-masing berlomba mencari informasi dan pengetahuan melalu berbagai macam media, terutama melalui teknologi internet. Selanjutnya setelah mendapatkan informasi antara guru dan siswa saling bertukar informasi, lalu dapat juga dijadikan sebagai bahan diskusi atau bahkan beradu argumen di ruang kelas. Kegiatan pembelajaran semacam ini tentu akan menghasilkan model pembelajaran yang dinamis, interaktif dan menarik. Sehingga proses pembelajaran tidak hanya dialami bagi siswa saja melainkan juga bagi guru yang mengajarnya sendiri.

Teknologi internet sebenarnya merupakan evolusi dari teknologi informasi dan komunikasi generasi sebelumnya yang juga telah banyak dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan. Internet sendiri adalah kepanjangan dari interconection networking yang merupakan suatu jaringan yang menghubungkan suatu komputer di seluruh dunia tanpa dibatasi oleh jumlah unit menjadi satu jaringan yang bisa mengakses satu sama lain. Internet sering juga disebut sebagai dunia maya (virtual) atau cyber space yang didalamnya terdapat orang-orang saling berinteraksi, bertukar pikiran dan berdiskusi tanpa terbatasi oleh teritorial suatu negara ataupun harus bertemu secara fisik. Sebagai gambaran pada tahun 2001 saja telah ada 135 negara yang telah memilki akses, 54 kota di dunia merupakan host utama dan hampir 75 juta orang melakukan koneksi terhadap tersebut setiap hari. Bayangkan ditahun 2008, mungkin sudah menjadi dua kali lipat jumlah pengguna teknologi internet.

Salah satu media yang tersedia di internet yang dapat kita manfaatkan sebagai pembelajaran berbasis e-learning adalah blog. Blog merupakan singkatan dari "web log" adalah bentuk aplikasi web yang menyerupai tulisan-tulisan (yang dimuat sebagai posting) pada sebuah halaman web umum. Tulisan-tulisan ini seringkali dimuat dalam urut terbalik (isi terbaru dahulu baru kemudian diikuti isi yang lebih lama), meskipun tidak selamanya demikian. Situs web seperti ini biasanya dapat diakses oleh semua pengguna internet sesuai dengan topik dan tujuan dari si pengguna blog tersebut (sumber : wikipedia).

Selama ini blog hanya dikenal sebagai wadah untuk menuangkan isi curahan hati atau berfungsi sebagi diary saja. Karena memang blog sangat bersifat personal dan isinya selalu mencerminkan sang pembuat blognya (blogger). Mengingat kita dapat mengisi blog kita dengan materi apa saja sesuai dengan minat dan keperluan kita . Namun tentu saja kita juga harus mengetahui dan memperhatikan etika yang berlaku walaupun tidak secara tertulis.

Mengapa weblog menjadi salah satu media yang tepat digunakan untuk mewujudkan e-learning ? Karena weblog cara kerjanya sederhana, sehingga tidak memerlukan keahlian pemograman komputer ataupun software khusus. Penggunaan Istilah weblog sendiri pertamakali dikenalkan Jorn Barger pada tahun 1997. Walaupun demikian pemanfaatan weblog untuk keperluan pembelajaran masih relatif terbatas. Masih banyak para guru ataupun dosen yang belum memanfaatkan weblog sebagai media pembelajaran. Padahal dengan memanfaatkan weblog dapat juga mendorong seorang guru atau dosen untuk rajin menulis, berkreasi dan mengasah kemampuan teknologi informasinya.

Ketika seorang guru memanfaatkan blog sebagai media pembelajaran, tentu akan banyak manfaat yang diperoleh baik bagi guru itu sendiri ataupun bagi para siswanya atau bahkan bagi semua orang yang membacanya. Setidaknya guru dapat mengisi blognya dengan berbagai bahan ajar yang akan di sampaikannya. Guru dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk dapat mengunduh (download) materi pelajaran dalam bentuk zip/pdf. Melalui blog juga guru dan siswa dapat berkomunikasi tanpa dibatasi ruang kelas ataupun waktu jam pelajaran. Tidak hanya untuk berkomunikasi dengan siswanya, guru juga dapat berkomunikasi dan berdiskusi tentang permasalahan-permasalahan yang dihadapi pada saat proses pembelajaran berlangsung.

Beberapa strategi pembelajaran yang dapat diterapkan dengan menggunakan teknologi e-learning adalah (a) simulasi, belajar dengan melakukan apa yang hendak dipelajari (learning by doing), (b) mempelajari sesuatu secara tidak langsung (incidental learning), (c) mempelajari sesuatu dengan mengembangkan ide/ gagasan tentang subjek yang hendak dipelajari (learning by reflection), (d) mempelajari sesuatu berdasarkan kasus kasus yang telah terjadi mengenai subjek yang hendak dipelajari (case based learning), (e) mempelajari sesuatu dengan cara melakukan eksplorasi terhadap subjekyang hendak dipejari (learning by exploring).

Strategi pembelajaran yang diuraikan merupakan pembelajaran yang berbasis e-learning. Model pembelajaran yang tidak dibatasi oleh ruang kelas ataupun waktu jam pelajaran. Menurut Engkos Koswara proses belajar mengajar melalui e-learning dilakukan dengan menggunakan berbagai fasilitas teknologi informasi, seperti komputer baik hardware maupun software, teknologi jaringan seperti local area network, dan wide area network, serta teknologi telekomunikasi seperti radio, telefon dan satelit. (Media Indonesia, 31/07/08).

Keadaan ini tentu merupakan akibat dari begitu pesatnya perkembangan teknologi informasi maupun komunikasi. Proses pembelajaran berbasis e-learning merupakan proses pembelajaran masa depan yang penuh harapan bagi kemajuan pendidikan Indonesia. Pemerintah sendiri juga telah mengawalinya dengan meluncurkan program buku sekolah elektronik atau dikenal dengan e-book. Walaupun program baik ini belum tercapai sepenuhnya karena implementasi dilapangan untuk saat ini masih buruk.
(artikel ini telah dimuat di Harian Media Indonesia tanggal 12 Agustus 2008)

Negeri Bencana Yang Kaya

Negeri Bencana Yang Kaya
Oleh : Indra Yusuf

Semua tahu negeri Kita kaya sumberdaya

Sebuah negeri zamrud khatulistiwa

Karena mental budaya

Sumberdaya tak berdaya



Negeri tak sentosa

Zamrud khatulistiwa hanya sebuah nama

Tanpa arti dan makna

Rakyat sudah lama menderita



Biosfer

Litosfer

Hidrosfer

Menjadi lapisan bencana



Sumberdaya hutan hanyalah kebakaran

Sumberdaya energi hanyalah tragedi

Tanah subur hanyalah pengubur

Sungai hanyalah banjir mengintai



Sumberdaya sepatutnya menjadi sumber kesejahteraan

Bukan sebaliknya sumber kesengsaraan

Bencana terus terjadi dimana-mana

Tanpa ada daya upaya



Kaya tapi sengsara

Sejahtera hanya utopia

Jika Kita tetap semena-mena

Terhadap lingkungan -sumberdaya



Sabtu, 02 Agustus 2008

Menakar Kualitas Pendidikan Kita

Oleh : Indra Yusuf
Di beberapa daerah, angka kelulusan UN yang diumumkan 14 Juni lalu mengalami peningkatan. Di Jawa Barat, misalnya, dari 154.833 peserta ujian nasional SMA, yang dinyatakan lulus 152.293 atau 98,2 persen.
”Angka ini naik 0,46 persen dibandingkan angka kelulusan tahun lalu, yakni 97,74 persen,” kata Kepala Dinas Pendidikan Jabar Dadang Dally. Adapun di Jawa Timur, ketidaklulusan siswa SMA/MA mencapai 3,07 persen, sedangkan SMK 3,12 persen atau menurun dibandingkan dengan tahun lalu (Kompas, 14/06/08).

UN Vs Target Kelulusan dan Kejujuran

Oleh Indra Yusuf

Ada dua hal penting terkait dengan pelaksanaan ujian nasional atau UN. Pertama, persoalan tingkat persentase dan target kelulusan yang akan dicapai sekolah. Kedua, persoalan nurani atau kejujuran dalam pelaksanaannya. Idealnya, dua hal tersebut memang harus berjalan seiringan. Target kelulusan tercapai dan pelaksanaannya pun bersih dari berbagai kecurangan.

Akan tetapi, untuk saat ini rasanya sulit keduanya dapat diraih secara bersamaan oleh suatu sekolah atau daerah tertentu. Ini mengingat masih banyak keterbatasan sarana-prasarana ataupun SDM di berbagai daerah di Indonesia.

Sekolah atau daerah akhirnya memutuskan salah satu pilihan dari dua pilihan itu walaupun tentu keduanya sama-sama membawa risiko. Namun, sekali lagi untuk saat ini, sekolah atau daerah lebih banyak memilih target kelulusan yang tinggi (baca: 100 persen) dibandingkan dengan nilai kejujuran yang hakiki. Karena memilih target kelulusan, risikonya lebih kecil atau bahkan tidak berisiko karena relatif lebih "aman". Sebab, kecurangan yang sering kali terjadi membentuk suatu jaringan yang melibatkan pihak yang semestinya mengawal kesuksesan UN.

Sementara sekolah yang memilih kejujuran akan menghadapi berbagai persoalan untuk waktu ke depannya.

Banyak pejabat dan kepala daerah atau kepala sekolah yang takut tingkat kelulusan di daerah atau sekolahnya rendah sehingga ia memberikan tekanan yang begitu besar kepada sekolah yang kemudian dilanjutkan kepada guru mata pelajaran yang di UN-kan. Mengejar target kelulusan dan rasa takut kehilangan jabatan dengan mudah akan meminggirkan nilai kejujuran demi tujuannya itu.

Nilai kejujuran semestinya menjadi ruh untuk diembuskan dalam dunia pendidikan. Namun, alih-alih membantu siswa, menyelamatkan masa depannya, dan menyelamatkan nama lembaga, ternyata sekadar merusak generasi bangsa dan meruntuhkan fondasi pendidikan dan menyelamatkan sebuah jabatan seseorang. Sulit

Sulit rasanya menemukan sekolah yang lebih mengutamakan kejujuran dibandingkan dengan angka atau target kelulusan tertentu. Sekolah yang memilih kejujuran tentu akan siap menghadapi sanksi dan cemoohan masyarakat karena hampir dipastikan akan memperoleh tingkat kelulusan yang rendah, apalagi bagi sekolah di daerah. Sekolah dihadapkan pada pilihan dilematis. Demikian juga dengan guru mata pelajaran yang secara batin mengalami pemerkosaan. Guru yang idealis bersiap-siaplah mendapatkan sanksi dan tekanan secara fisik ataupun mental dari lingkungan ia berada.

Memang sungguh ironis di negeri ini. Memilih jalan kebenaran lebih besar risikonya dibandingkan dengan yang memilih jalan keliru, yang justru relatif lebih aman. Tujuan baik penyelenggaraan UN yang diharapkan pemerintah sama sekali tidak tercapai. Pemetaan pendidikan yang akan ditunjukkan oleh hasil UN sama sekali tidak memenuhi unsur validitas dan reliabilitas.

Keberhasilan pendidikan yang ditunjukkan dengan angka statistik keberhasilan UN adalah semu belaka. Pelaksanaan UN justru hanya menciptakan generasi yang selalu mengharapkan bantuan orang lain. Sebagian siswa pun telah mengetahui, ketika ujian berlangsung, mereka akan "dibantu" pihak sekolah. Bukan tidak mungkin hal ini lambat laun akan menjadi rahasia umum di kalangan siswa yang akhirnya mematikan motivasi belajar siswa.

Kita juga dapat membandingkan bahwa hasil try-out UN di sekolah-sekolah yang notabene dibuat gurunya sendiri dengan hasil UN sesungguhnya yang akan diumumkan nanti akan sangat besar standar deviasinya. Soal try-out UN lebih familiar daripada soal UN, tetapi mengapa tingkat kelulusannya jauh lebih rendah di bawah 50 persen. Adapun soal UN yang dibuat pusat justru menunjukkan hasil fantastis, lebih dari 95 persen yang lulus.

Sesungguhnya, mendeteksi sekolah/daerah yang curang dalam melaksanakan UN tentu sangat mudah bagi Departemen Pendidikan Nasional. Sebab, dengan melihat grafik analisis statistik tertentu dari hasil UN di suatu sekolah dengan bantuan seorang ahli statistik Depdiknas dapat dikenali ada tidaknya kecurangan. Apalagi, bila kita kaitkan dengan analisis butir soal dan pola jawaban yang ada.

Pastilah grafik yang dihasilkan secara murni atau alamiah akan berbeda dengan grafik yang dihasilkan melalui unsur rekayasa atau terindikasi melakukan kecurangan. Tentu ini tidak dapat dijadikan bukti, hanya setidaknya dapat menjadi indikasi awal untuk ditindaklanjuti dengan melakukan investigasi di lapangan secara mendalam.

Menteri Pendidikan Nasional pernah mengatakan, "Saya tidak pernah menargetkan berapa yang lulus dan berapa yang tidak lulus. Yang paling utama adalah kejujuran peserta UN, guru, penyelenggara UN, pengawas, dan orang-orang dari Depdiknas sendiri" (Kompas, 22/4). Dari apa yang dikatakan Mendiknas, tersirat sebenarnya pemerintah ingin agar pelaksanaan UN ini bersih. UN agaknya lebih bermakna sebagai ujian kejujuran, bukan pencapaian hasil belajar. Berapa pun kenaikan standar kelulusan tidak akan berpengaruh terhadap kualitas pendidikan seandainya pelaksanaan UN masih seperti ini. Pengamanan dan pengawasan

Sebetulnya pemerintah telah berupaya dengan berbagai cara agar pelaksanaan UN bisa jujur dan bersih, tetapi hal itu sulit tercapai bila tidak dimulai dari pihak yang terkait dengan UN, seperti siswa, guru, kepala sekolah, dinas pendidikan, kepala daerah, atau Depdiknas. Pengawasan dan pengamanan bagaimanapun tidak akan mampu menjamin UN terselenggara dengan jujur. Sekali lagi, pengamanan dan pengawasan yang dilakukan berbagai pihak, seperti dari dinas pendidikan, tim independen (perguruan tinggi), atau sekalipun dari unsur kepolisian tidak akan berarti apa-apa jika pihak-pihak tersebut tidak mempunyai itikad baik yang kuat.

Pasalnya, selama ada pihak yang memang memiliki kepentingan terhadap keberhasilan UN, pelaksanaan UN akan jauh dari kejujuran. Selama ini pihak-pihak tertentu atau bahkan dari tim independen mengatakan, pelaksanaan UN berjalan lancar dan tanpa ada kebocoran. Bila memang begitu, perlu dipertanyakan efektivitas keberadaan tim pengawas dan pengaman UN yang telah menghabiskan anggaran yang cukup besar.

Bisa jadi mereka tidak memahami atau pura-pura tidak mengerti di mana, kapan, dan siapa yang akan melakukan kecurangan. Perlu ditegaskan, dugaan kecurangan UN tidaklah terjadi di jalan raya atau dalam bentuk pencurian soal atau pembocoran soal oleh pihak luar, melainkan diduga kuat dari dalam sendiri.

Penyelesaian masalah ini sebetulnya mudah, tinggal seberapa besar komitmen pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan nasional. Langkah yang sebaiknya ditempuh adalah tidak menjadikan UN sebagai penentu kelulusan.

Jika memang UN tetap menjadi salah satu kriteria kelulusan, pemerintah harus lebih jeli, sungguh-sungguh, dan tegas menindak pihak-pihak yang melakukan kecurangan. Berikan pemahaman kepada masyarakat tentang makna kelulusan dan ketidaklulusan karena itu semua merupakan bagian dari proses pendidikan.

Dalam ujian masuk perguruan tinggi, lebih banyak yang tidak lulus dibandingkan dengan yang lulus, tetapi tak pernah ada gejolak. INDRA YUSUF Praktisi dan Peminat Masalah Pendidikan

(Artikel ini telah dimuat di Harian Kompas 12 Mei 2008)

Jumat, 01 Agustus 2008

Seimolog dan Mitor Seputar Gempa

Oleh : Indra Yusuf
Setahun yang lalu tepatnya tanggal 17 Juli 2006 Kawasan Pantai Pangandaran Kabupaten Ciamis dan sekitarnya diguncang gempa berkekuatan 6,8 pada skala richter, gempa yang terjadi juga menyebabkan gelombang tsunami yang menerjang Pantai Selatan Jawa Barat seperti Cilauteureun-Kabupaten Garut, Cipatujah-Kabupaten Tasikmalaya, Pantai Selatan Cianjur dan Sukabumi. Bahkan, gelombang tsunami juga menerjang Pantai Cilacap dan Kebumen Jawa Tengah, serta Pantai Selatan Kabupaten Bantul Yogyakarta. Padahal lebih kurang dua bulan sebelumnya gempa juga telah mengguncang Kota Yogyakarta tepatnya pada tanggal 27 Mei 2006.
Dari kedua gempa yang selang waktunya tidak begitu lama tersebut menegaskan kembali kalau gempa bumi belum dapat diprediksi oleh para ahli gempa (seismolog) maupun ahli ilmu kebumian lainnya. Sehinga isu yang pernah beredar di masyarakat tentang akan terjadinya gempa besar pada tanggal 7 Juni yang lalu jelas merupakan kabar burung belaka. Gempa itu juga telah menggugah kesadaran bahwa memang kita berada dinegeri yang rawan bencana sehingga pantas disebut The Ring of Fire (lingkaran api). Sama seperti halnya negeri sakura yang dikenal dengan The Four Roses of Japan ( Empat bencana alam ; gempa-tsunami, gunung meletus, banjir dan angin taifun yang sering melanda negeri Jepang). Karena keduanya dilalui oleh deretan pegunungan lipatan muda Sirkum Pasifik.
Sementara pakar ilmu kebumian belum dapat berbuat banyak untuk mengungkapkan misteri kapan suatu bencana kebumian akan terjadi ? Khususnya gempa bumi tektonik. Mitos-mitos seputar gempa yang telah ada dan berkembang serta terjaga kelestariannya di dalam kehidupan masyarakat. Menyikapi mitos-mitos yang berkembang kita hanya perlu memaknainya sebagai kekayaan khasanah budaya kita. Jangan sampai menjadi pegangan sebagaimana masa dikala ilmu pengetahuan belum berkembang dan memaknai segala sesuatunya secara metafisik dan irasional.
Sejak terjadinya gempa di Aceh dan Sumatera Utara yang menimbulkan bencana mega tsunami pada tahun 2004, tidak saja para seismolog atau ilmuwan kebumian yang mengemukakan pendapat dan analisisnya yang berkaitan dengan terjadinya gempa bumi tetapi juga politikus, dan paranormal pun ikut mengemukakan soal gempa bahkan mereka lebih berani dengan memprediksikan bahwa akan terjadinya gempa yang lebih dahsyat di Wilayah Selat Sunda. Nanang T Puspito pakar gempa dari ITB menyebutnya mereka sebagai selebritis gempa dan tsunami.
Dalam sejarah peramalan gempa bumi, pernah terjadi ramalan yang dianggap berhasil yaitu ketika gempa di Haicheng – China. Gempa Haicheng terjadi pada tahun 1975 dengan kekuatan 7,3 skala richter. Mitigasi dilakukan sangat baik, peringatan evakuasi diputuskan pada hari sebelumnya terjadi gempa. Beberapa gejala yang dijadikan dasar adalah tampaknya perubahan pada tinggi muka airtanah . Kemudian banyaknya laporan mengenai perilaku aneh binatang dan juga banyaknya terjadi foreshock (gempa pendahuluan). Sehingga seiring dengan meningkatnya intensitas dan frekuensi foreshock pihak berwenang mengeluarkan peringatan evakuasi.
Sebagai manusia yang bijak tentu kita dapat memaknai segala bencana yang terjadi di alam ini, pasti memiliki pertanda dan maksud yang dapat kita tangkap tidak saja melalui kecerdasan intelegensi kita tapi juga melalui kecerdasan spritual (SQ) kita. Mitos-mitos yang berkaitan dengan gempa tidak saja muncul pada saat sekarang namun telah ada sejak dulu dan setiap wilayah yang pernah mengalami gempa akan menjaga kelestarian mitos tersebut secara turun menurun. Seorang filsuf yang bernama Aristoteles menyatakan bahwa kejadian gempa disebabkan oleh keluarnya udara yang terkandung dalam tanah. Di Mongolia pun berkembang mitos seputar gempa. Orang Mongolia percaya bahwa setelah bumi dibuat Tuhan meletakan bumi tersebut diatas pundak seekor katak yang sangat besar, apabila katak bergerak maka terjadilah gempa.
Di Indonesia sendiri berkembang beberapa mitos yang sampai saat ini masih melekat di masyarakat. Sebutlah masyarakat di Jawa Barat (Sunda), yang beranggapan bahwa sumber atau penyebab gempa (lini, Masyarakat Sunda menyebutnya) adalah sebuah batu yang terdapat di puncak gunung. Batu tersebut dapat bergerak dan gerakannya itu yang menimbulkan guncangan gempa bumi. Akan tetapi, si batu tidak mau bergerak selagi dimuka bumi ini masih ada mahluk yang namanya manusia. Pada saat tertentu semut hitam mendatangi batu yang menjadi sumber pusat gempa yang ada di puncak gunung dan memberikan laporan bahwa dimuka bumi sudah tidak ada lagi manusia. Akibat provokasi semut hitam itu, maka batu tadi bergerak sehingga terjadilah gempa. Bukti masih melekatnya mitos gempa tersebut di sebagian masyarakat sunda adalah ketika tejadi gempa mereka berteriak sekeras-kerasnya mengucapkan kata aya…, aya…, aya…, (yang artinya ada). Teriakan tersebut diharapkan terdengar oleh si batu yang terletak jauh di puncak gunung agar guncangan gempa segera berhenti. Hal ini juga yang terjadi di Pangandaran saat gempa mengguncang setahun yang lalu.
Demikian juga ketika gempa mengguncang Kota Yogyakarta, kembali berkembang mitos-mitos yang diyakini sebagian masyarakat. Mitos-mitos itu diantaranya sebelum terjadi gempa akan ditandai dengan munculnya awan tegak lurus di langit. Karena secara kebetulan awan tegak lurus muncul juga sesaat sebelum gempa bumi mengguncang Kota Kobe di Jepang pada tanggal 17 januari 1995. Fenomena atau mitos ini tidak ada salahnya jika ditidaklanjuti oleh para ahli seismologi ataupun meteorologi karena ada kemungkinan saling berkaitan. Mitos lainnya yang berkembang adalah ketika ikan lele gelisah sehingga naik kepermukaan, mayarakat jepang mempercayainya akan terjadi sebuah gempa bumi. Selain ikan lele burung camar ataupun gajah memiliki naluri yang tajam sehingga akan meninggalkan laut ketika gempa yang terjadi berpotensi menimbulkan tsunami.
Adanya suara gemerincing (tangisan dasar laut) sesaat sebelum terjadinya gempa yang menimbulkan tsunami di Yogyakarta, sebagaimana kesaksian warga yang tinggal di Parang Tritis. Bunyi tangisan tersebut sesungguhnya berasal dari gelombang bunyi yang disebut T-Phase ketika pusat gempa berada di dasar laut sehingga menyebabkan bunyi gemerincing yang ditafsirkan sebagi tangisan. Fenomena lain, munculnya jilatan api sebelum terjadinya gempa. Berdasarkan ahli dari BMG jilatan api yang terlihat masyarakat merupakan semacam aurora yang muncul di khatulistiwa, berasal dari segumpal awan yang terkena pantulan sinar matahari pagi mengingat gempa terjadi pada waktu pagi hari.
Sampai saat ini para seismolog belum ada yang mampu untuk meramalkan kapan waktu terjadinya gempa dan dimana lokasinya secara spesifik. Para ahli baru sebatas mengetahui tentang dimana gempa kemungkinan akan terjadi atau menentukan wilayah jalur gempa. Seismologi belum membahas pengetahuan untuk mengetahui hari, bulan dan tahun (siklus) terjadinya gempa pada suatu jalur gempa. Para ahli di dunia baru bisa menjelaskan pola spasial gempa-gempa besar di bumi serta prediksi mengenai lokasi dan beberapa gempa besar dimasa yang akan datang. Sebagian besar gempa-gempa berkekuatan besar terjadi pada zona-zona patahan sepanjang tepi Samudera Pasifik (sirkum Pasifik). Penyebab lain juga karena adanya desakan aktifitas lempeng tektonik di Samudera Atlantik.
Mengapa gempa belum bisa diprediksi karena sampai saat ini belum ada teknologi yang dapat mengukur stress (tekanan) dan strain (tegangan) batuan pada batun sedimen, apalagi posisi pusat gempa (hiposentrum) yang jaraknya berskala puluh hingga ratusan kilometer di dalam bumi. Stress adalah tekanan terhadap batuan dari segala arah. Sedangkan Strain adalah batuan yang sudah mengalami perubahan bentuk (terdeformasi). Karena jaraknya yang sangat jauh dikedalaman bumi sehingga sulit untuk menempatkan alat ukur guna mengukur stress dan strain batuan di lokasi pusat gempa. Namun para peneliti dunia yang tergabung dalam Integrated Ocean Drilling Program (IOPD) yang dimotori Japan Agency for Marine Earth Science and Technology (Jamstec) telah berupaya melakukan pengukuran stress dan strain batuan di daerah pusat gempa atau daerah seismogenic zone yang tergolong dangkal (Y.S Djajadihardja : 2007).
Diharapkan perkembangan seismologi dan metode penempatan alat ukur stress dan strain yang dilakukan Jamstech dapat dilaksanakan secepat mungkin sehingga suatu saat nanti seismolog dapat memprediksi kapan terjadinya gempa bumi. Dan mitigasi yang dilakukan dapat lebih bermanfaat karena adanya early warning system yang panjang waktunya dan informasi yang lebih akurat. Korban jiwa dan materi pun dapat di minimalisisr lebih maksimal lagi. Sehingga manusia akan semakin nyaman tinggal dibumi yang dinamis ini.

(Artikel ini telah dimuat di Harian Mitra Dialog Cirebon pada tanggal 18 Agustus 2007))

Fenomena Liberalisasi Pendidikan

Oleh : Indra Yusuf*
Beberapa tahun belakangan ini atau setidaknya sejak dikeluarkan PP No. 61 Tahun 1999 tentang penetapan perguruan tinggi negeri (PTN) sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN), telah terjadi berbagai fenomena yang menarik. Fenomena tersebut adalah maraknya penerimaan calon mahasiswa baru melalui jalur khusus atau non reguler diluar Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Tiap perguruan tinggi mempunyai aturan sendiri-sendiri, sejalan dengan otonomi yang dimilikinya. Sebagai contoh ITB dengan USM-ITBnya, UGM dengan UM-UGMnya, UPI dengan jalur khususnya bahkan PTN yang belum berstatus BHMN pun melakukan hal yang sama seperti Unpad dengan SMUPnya dan Unsoed dengan UM-Unsoednya dan masih banyak lagi yang lainya.
Konsekuensi dari adanya perubahan status PTN menjadi PT-BHMN atau PT-BHPMN mengakibatkan pengurangan bahkan penghapusan subsidi dari pemerintah kepada perguruan tinggi tersebut. Sehingga ada indikasi demi terpenuhinya pendapatan lembaga / perguruan tinggi tersebut, jalur-jalur khusus diluar SPMB (non reguler) dikenakan biaya yang sangat mahal dengan demikian tak dapat dipungkiri lagi bahwa besarnya rupiah turut menentukan diterima atau tidaknya seorang calon mahasiswa baru diperguruan tinggi tersebut. Padahal bukan itu tujuan dari otonomi perguruan tinggi tapi bagaimana mengelola dan menghasilkan dana dari proyek-proyek hasil penelitianya dan pelaksanaan tridharma perguruan tingginya
Sementara untuk masyarakat dari kalangan ekonomi menengah kebawah semakin dipersempit kemungkinan untuk dapat kuliah di PTN tertentu. Kecerdasan intelektual bukan satu-satunya lagi sebagai modal dasar atau syarat yang harus dipenuhi untuk memasuki PTN favorit. Perguruan tiggi telah terjebak pada kebijakan pendidikan nasional yang mengarah pada liberalisasi atau privatisasi pendidikan. Tentunya hal ini menyebabkan masyarakat akan menanggung beban biaya pendidikan yang lebih besar. Terkait dengan kebijakan tersebut pada saat Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pidato kenegaraannya tanggal 16 Agustus 2007 didepan anggota DPR, ratusan mahasiswa bersama lembaga masyarakat peduli pendidikan dan warga miskin mendatangi DPR menuntut agar pemerintah segera menegakan hak-hak konstitusional masyarakat di bidang pendidikan dan menghentikan komersialisasi pendidikan.
Disamping dampak yang menyangkut hak-hak konstitusional masyarakat dibidang pendidikan terancam, dengan adanya jalur khusus PTN juga dapat merusak tatanan sistem pendidikan yang ada disekolah maupun di kampus nantinya. Karena untuk mensosialisasikan jalur-jalur khusus tersebut PTN-PTN melakukan jemput bola ke sekolah-sekolah yang dianggap potensial dan menjalin kerjasama, bahkan melakukan pendaftaran dan ujian masuk diluar daerah dengan tujuan mempermudah bagi calon mahasiswa yang ingin mendaftar dan berasal dari daerah. Tentu tujuan tersebut dapat kita terima, tapi ternyata membawa efek yang kurang positif bagi lembaga maupun masyarakat. Disamping itu perilaku PTN tersebut membuat cemburu dikalangan perguruan tinggi swasta (PTS), karena dianggap berdampak pada berkurangnya jumlah calon mahasiswa baru yang akan mendaftar. Sehingga PTS pun melakukan sosialisasi sekaligus promosi besar-besaran ke sekolah-sekolah bahkan jauh-jauh hari sebelum UN dan SPMB dilaksanakan. Karena bagaimanapun ini tidak lepas dari kepercayaan masyarakat terhadap kualitas dan nilai jual PTN yang masih tinggi pada saat ini.
Jauh sebelum menjelang awal musim perkuliahan atau ketika siswa SMA kelas XII baru menginjak semester genap sekolah telah kebanjiran tawaran-tawaran dari berbagai lembaga pendidikan tinggi baik negeri maupin swasta. Nyaris setiap lembaga melakukan presentasi terhadap siswa secara langsung pada saat jam pelajaran, yang tentunya sangat mengganggu efektifitas KBM. Sementara para guru sedang berpacu dengan waktu UN yang sudah tidak lama lagi. Terlebih lagi PTS yang seolah-olah takut tidak kebagian mahasiswa malakukan berbagai macam cara untuk menjaring calon mahasiswa barunya. Mulai dari penawaran beasiswa, bebas seleksi masuk dan discount-discount biaya pendidikan lainya layaknya di supermarket. Belum lagi penawaran dual degree (dua gelar sekaligus) dalam satu masa kuliah dan dalam waktu singkat. Pasalnya sejak PTN membuka jalur-jalur khusus non SPMB, telah terjadi penurunan jumlah mahasiswanya terlebih lagi pada program studi yang tidak diminati, bahkan perguruan tinggi swasta di Jawa Barat dan Banten hampir 34%nya dinyatakan kolaps (Pikiran Rakyat 26 Februari2007).
Sementara dampak lain yang dialami sekolah dan dirasakan oleh guru-guru adalah adanya upaya untuk mempersiapkan anak-didiknya dapat diterima di PTN melalui jalur khusus tertentu atau dulu dikenal dengan model penelusura PMDK, dengan melakukan “desain nilai” terhadap siswa-siswa yang dianggap mampu. Agar dapat memenuhi syarat jalur khusus tersebut, karena bagaimanapun sekolah berkepentingan terhadap hal tersebut. Dengan semakin banyaknya jumlah persentase siswa yang diterima melalui jalur khusus (PMDK) di PTN akan mendongkrak nama baik dan kepercayaan dari masyarakat disamping dari PTN yang bersangkutan. Tentu hal ini sangat mengkhawatirkan karena telah mempersempit dan mereduksi hakekat belajar dan pendidikan secara luas.
Kemandirian siswa ataupun calon mahasiswa cenderung menurun, kini siswa tidak perlu lagi proaktif mencari informasi tentang perguruan tinggi baik swasta, negeri maupun kedinasan karena telah datang sendiri kesekolah. Dikhawatirkan hal semacam itu akan melahirkan generasi yang cengeng dan manja karena sejak awal sudah biasa menerima bukan mencari. Berbeda dengan siswa dulu, ketika setelah ujian ,mereka yang bermaksud melanjutkan ke perguruan tinggi berlomba-lomba mencari informasi pendaftaran tentang perguruan tinggi yang dituju. Sehingga siswa dari awal telah dididik untuk bersikap proaktif mencari sendiri tidak seperti sekarang yang mulai dari awal sudah disuapi. Sebenarnya berbagai macam jalur non reguler atau diluar SPMB dapat menjadi bumerang bagi PTN itu sendiri, karena bisa menurunkan kualitasnya. Indikasi penurunan kualitas ini pernah diungkapkan oleh salah seorang dosen di PTN terkemuka di negeri ini. Ia mengungkapkan ada perbedaan antara mahasiswa dulu dan sekarang. Perbedaan itu terlihat baik dari segi kemampuan intelegensia maupun dari kemampuan Emotional Quationnya. Performa perkuliahan pun jauh dari kultur ilmiah dan edukatif, sehingga yang seharusnya kritik ilmiah menjadi kritis ilmiah. Mahasiswa yang cerdas, kritis dan responsive sudah tidak mendominasi lagi, yang ada sebagian besar merupakan kumpulan anak baru gede (ABG) yang jauh dari budaya seorang calon intelektual.
Dengan banyaknya jalan menuju PTN selain mematikan perguruan tinggi swasta dikhawatirkan juga beberapa tahun mendatang perguruan tinggi negeri kita bakalan semakin tertinggal jauh dari perguruan tinggi di tingkat intrenasional. Demikian juga dengan banyaknya cara dan strategi yang dipakai PTS untuk menarik calon mahasiswanya maka masyarakat (baca : siswa) diharapkan dapat lebih hati-hati dan selektif dalam mamilih PTS agar tidak merasa salah pilih. Beberapa hal yang dapat dijadikan pertimbangan untuk memilih PTS seperti status akreditasinya. Pada umumnya akreditasi dapat memberikan gambaran umum mengenai kualitas penyelenggaraan sebuah program studi yang mencakup aspek pendidikan, penelitien dan pengabdian kepada masyarakat. Walaupun perlu diakui bahwa akreditasi yang ada belum dapat sepenuhnya menggambarkan aspek-aspek yang akan menentukan kualitas sesungguhnya dan kompetensi dari seorang lulusanya. Sehingga perlu juga mempertimbangkan beberapa hal yakni : minat kita terhadap program studi yang dipilih, besarnya biaya pendidikan yang harus dibayar, prospek jurusan yang kita pilih dan reputasi perguruan tinggi baik tingkat nasional maupun internasional. Bagaimanapun pendidikan tinggi merupakan gerbang mewujudkan masa depan yang lebih baik.
(Artikel ini telah dimuat di Majalah Gerai Dinas Informasi dan Komunikasi Kota Cirebon )
.

Arogansi dan Kekerasan di IPDN


Oleh : Indra Yusuf *
Setahun yang lalu pada saat pengukuhan Praja Sarjana Sains Terapan (PSST) tepatnya bulan Agustus 2006 Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono pernah mengatakan “ kita selama ini sudah salah menerapkan pendidikan di Institut yang diharapkan melahirkan pemimpin bangsa yang memiliki ketauladanan dan sikap mengayomi di masa depan. Karenanya hentikan ! Sekali lagi hentikan budaya kekerasan di kampus IPDN !” . Padahal dua tahun sebelumnyapun Presiden pernah mengatakan “Faktor utama yang membuat mereka ( Lulusan IPDN ), dihormati oleh masyarakat sebagai pemimpin adalah kemampuan yang dimiliki, kewibawaan, dan daya persuasi. Bukan dengan kekuatan yang otoriter, apalagi dengan kekerasan “.
Agaknya amanat Presiden itu sama sekali tidak dipahami dan dilaksanakan dengan baik, terbukti dengan terulangnya kasus kekerasan hingga menghilangkan nyawa salah seorang praja madya (tingkat II) yang bernama Cliff Muntu (19 ) asal Manado Sulawesi Utara. Tentunya ini menambah deret paling panjang kasus kekerasan yang terjadi di STPDN atau IPDN ( Institut Pemerintahan Dalam Negeri ). Sepertinya di IPDN budaya kekerasan bukanlah merupakan penyimpanyan tetapi adalah bagian dari pola asuh dan system pembinaan yang keliru. Pola asuh dan pembinaan yang terjadi selama ini ternyata sangat tidak mendidik dan manusiawi, system pendidikan yang ditanamkan sama sekali jauh dari apa yang diharapkan sebagai bekal dari seorang calon pejabat atau pimpinan bangsa. Budaya yang dikembangkan di sana adalah budaya Bullying yang dimanapun kita berada pasti di tentang. Mereka memupuk otoriter sehingga membentuk pangreh, siapa yang kuat dan berkuasa dapat berbuat seenaknya terhadap yang lemah, yang tidak mempunyai kuasa (powerless). Jelas ini adalah bukan tujuan dari system pendidikan manapun, karena tidak ada satupun pendidikan menghendaki hal ini.
Selama kurun 2000 sampai sekarang sudah terjadi tidak kurang dari 35 kasus yang terungkap dimedia. Belum lagi yang terungkap dimedia, dalam kasus ini pun terkesan sangat ditutup-tutupi berita terakhir janazah Cliff Muntu bahkan sempat disuntikan formalin dengan tujuan menyulitkan penyelidik mencari penyebab kematiannya dalam proses autopsy nanti. Pihak IPDN juga diduga telah melakukan kebohongan public dengan memberikan keterangan bahwa orang tua Cliff Muntu mengakui bahwa anaknya memang menderita lifer dan menderita ini sebagaio musibah, padahal setelah dikonpirmasi oleh media yang terjadi adalah sebaliknya. Sementara bidang pengasuhan Ilhami Basri menyangkal kematian Cliff Muntu sebagai akibat tindakan kekerasan dan mengatakan tidak ada tindakan kekerasan di kampus IPDN. Menyangkal dan menutup-nutupi adalah bagian dari upaya untuk menghindarkan diri dari tanggungjawab, dan itu selalu dilakukan setiap kali kasus serupa terjadi seperti ketika sangkalan yang dilakukan oleh Rektor sebelumnya. Ketika Wapres melakukan Sidak ke IPDN para praja pun melakukan gerakan tutup mulut, sungguh rasa jiwa Korps yang tinggi meskipun salah penempatan. Namun nyatanya memang banyak sekali kasus tindakan kekerasan dan penganiyayaan yang terjadi di kampus tersebut.
Pihak polisi pun sempat mengalami kesulitan untuk melakukan proses penyelidikan akibat tertutupnya pihak IPDN ditambah dengan tindakan arogansi dari para praja senior yang menghalang-halangi anggota Polsek Jatinangor untuk melakukan autopsy. Atas kejadian yang selalu terulan ini tentunya bukan saja menjadi tanggung jawab praja yang melakukan penganiyayaan melainkan juga termasuk seluruh civitas akademika, terutama rector yang melakukan Crime by Ommision (membiarkan suatu kejahatan berlangsung).
Lantas sampai kapan budaya kekerasan dapat dihentikan budaya kekerasan dapat dihentikan dari kampus IPDN ? Sebelumnya berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk memutus tali rantai budaya kekerasan yang terjadi antar praja senior dan yunior. Diantaranya dengan memisahkan praja tingkat I kekampus IIP ( Institut Ilmu Pemerintahan dan melakukan perubahan nama serta peleburan IIP dengan STPDN menjadi IPDN. Tapi ternyata upaya-upaya tersebut belum berhasil membuat jera dan mengubah image sebagai lembaga pendidikan yang bebas dari budaya kekerasan dan Bulliying. Rasanya sudah habis toleransi dan kesabaran yang diberikan kepada IPDN untuk melakukan perbaikan terhadap system pendidikannya. Mungkin langkah terbaik yang dilakukan untuk mengakhiri budaya kekerasan di IPDN adalah dengan “membubarkan” IPDN. Hal ini demi menyelamatkan masa depan putra-puteri terbaik bangsa yang ada di sana. Walaupun tentunya ini sangat disayangkan mengingat IPDN sebagai lembaga pendidikan yang senyatanya bertujuan mendidik pimpinan bangsa tetapi malah menghasilkan tukang pukul berseragam.
IPDN merupakan lembaga kedinasan di bawah naungan Departemen Dalam Negeri (DEPDAGRI) yang awalnya didirikan dengan tujuan mendidik kader pamong pimpinan pemerintahan di Depdagri dan dalam upaya memenuhi kebutuhan pegawai pada lingkup Depdagri. Padahal kalau kita lihat kini pimpinan pemerintahan dalam negeri mulai dari tingkat bawah sampai atas sudah tidak didominasi lagi oleh alumni STPDN/IPDN. Sementara kalau kita melihat dilembaga pendidikan tinggi umum program studi yang menyangkut ilmu pemerintahan dan sosial politik telah tersebar diberbagai perguruan tinggi di seluruh nusantara baik negeri maupun swasta. Apalagi ditambah dengan akademi atai institut yang lain, pastinya kebutuhan akan calon pegawai di lingkup Depdagri telah cukup terpenuhi. Sehingga masih dianggap perlukan IPDN dipertahankan? Saat ini pemerintah sedang berupaya mewujudkan kemandirian PTN (Perguruan Tinggi Negeri) melalui BHMN (Badan Hukum Milik Negara), agar dapat mengurangi beban subsidi pemerintah. Sedangkan IPDN yang tentunya seluruh biaya baik yang menyangkut penyelenggaraan pendidikan, kebutuhan biaya akomodasi para praja maupun biaya yang lainya memerlukan anggaran yang cukup besar. Tiap tahunnya ratusan miliar rupiah dari APBN tersedot untuk IPDN. Dengan demikian apakah keberadaan IPDN masih akan teus dipertahankan ?
Kalau masih harus dipertahankan tentu harus dilakukan perubahan yang fundamental sebagaimana yang presiden ungkapkan. Perbaikan-perbaikan mengenai system pendidikan yang ada pun agaknya sulit untuk menjadi jaminan tidak terulanginya lagi kasus seupa dimasa yang akan datang. Lantas bagaimana sebenarnya system pendidikan yang ada saat ini di IPDN ? Selama ini system pendidikan yang diterapkan IPDN dikenal dengan system pendidikan keprajaan, istilah ini memang belum banyak dikenal dan belum merupakan istilah baku. Istilah tersebut digunakan karena pendidikan yang dilaksanakan ditujuakn untuk praja, yaitu sebutan untuk mahasiswanya. Inti dari system pendidikan ini adalah system pendidikan Jarlatsuh Karena didalamnya mencakup kegiatan pengajaran, pelatihan dan pengasuhan atau disebut juga system pendidikan Tritunggal Pusat. Sistem ini memiliki cirri khas yang berbeda dalam beberapa hal dan pendidikan lainnya. Perbedaan tersebut menyangkut berbagai factor atau komponen pendidikan baik kurikulum, tenaga pendidikan, peserta didik maupun sarana dan prasarana penunjang lainnya. Kegiatan pengajaran dalam pelaksanaannya tidak jauh berbeda dengan pendidikan umum lainnya, demikian juga dengan kegiatan pelatihan. Kegiatan yang lain adalah pola pengasuhan, merupakan kegiatan yang benar-benar hanya terdapat dalam system pendidikan keprajaan. Sejatinya pola kurikulum pengasuhan merupakan jalur pengembangan watak dan kepribadian yang dimaksudkan untuk membentuk tumbuhnya disiplin pribadi, ketegaran mental dan fisik, kesegaran jasmani dan rohani yang mengakar pada nilai-nilai budaya Indonesia. Tetapi dalam pola ini seringkali mengalami penyimpangan, pembentukan disiplin praja dominan berada pada domain fisiknya saja. Mengubah paradigma penegakan disiplin ala prajurit militer dengan penegakan disiplin sipil, karena bagaimanapun alumni STPDN/IPDN adalah masyarakat sipil dan bukan dari militer. Pembentuka displin kurang menyentuh pada pembinaan mental spiritual, ideologi, kepemimpinan, watak dan intelektual. Pola pengasuhan yang semestinya dilakukan melaui bimbingan penuh selama 24 jam setiap harinya dan evaluasi dilakukan sepanjang waktu sering kali tidak terkontrol sebagaimana yang diakui Inu Kencana salah seorang staf dosen IPDN.
Tatakrama dan peraturan dan kehidupan praja (Perdupra) yang merupakan ketentuan mengenai keharusan dan larangan untuk bersikap dan bertindak bagi para prajapun tidak dilakukan sepatutnya. Hal ini terbukti dengan banyaknya berbagai kasus yang ditemukan baik yang terungkap media maupun tidak. Berbagai macam kasus yang pernah terjadi menurut pengakuan alumni STPDN pada sebuah acara disalah satu stasiun televise swasta tanggal 5 April 2007 selain tindakan kekerasan, terjadi juga penyimpangan yang lainnya seperti adanya penggunaan narkoba, pelecehan seksual hingga perbuatan aborsi yang dilakukan seorang praja putri.
Mengingat banyaknya kekurangan dan dampak-dampak negatif yang ditimbulkan akibat kurikulum pola pengasuhan yang ada saat ini, alangkah baiknya perlu dikaji ulang penerapan sistem pendidikan keprajaan oleh para ahli pendidikan. Alternatif lain mengganti sistem pendidikan keprajaan dengan sistem pendidikan umum seperti PTN lainnya. Sehingga IPDN tidak lagi menjadi lembaga pendidikan kedinasan di bawah naungan Depdagri. Diharapkan dengan pergantian status tersebut lembaga pengganti IPDN akan menghasilkan calon abdi negera yang berintelektual berjiwa humanis jauh dari kekerasan dan melahirkan pemimpin bangsa yang memiliki ketauladanan dan sikap mengayomi masyarakat dimasa depan nanti seperti apa yang diharapkan Bapak Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono.
(Artikel ini pernah dimuat di Harian Kompas, 11 April 2007)